Jakarta (ANTARA News) - Petugas Kantor Urusan Agama rawan menerima gratifikasi karena tunjangan jasa dan transportasi yang menjadi haknya kurang lancar atau sering terhambat pencairannya, kata Wakil Ketua Komisi VIII Ledia Hanifa Amaliah.

"Bila petugas KUA tak kunjung mendapatkan tunjangan jasa dan transportasi yang menjadi hak-nya, sementara mereka sudah bertugas profesional, tidak mengambil kutipan, bahkan menalangi terlebih dahulu ongkos perjalanan, tentunya hal ini menjadi beban tersendiri bagi mereka," kata Ledia di Jakarta, Senin.

Oleh karena itu, dia mengkhawatirkan penerimaan gratifikasi oleh petugas KUA terbuka kembali dengan berbagai alasan.

Dia menjelaskan PP No 48 tahun 2014 tersebut memberlakukan biaya pencatatan nikah menjadi Rp.0 atau gratis selama dilansungkan di kantor KUA pada hari dan jam kerja, namun hal tersebut tidak didukung tunjangan jasa yang lancar kepada petugas KUA.

Sementara pungutan resmi sebesar Rp600 ribu atas jasa profesi dan transportasi petugas KUA di luar hari dan jam kerja disetorkan langsung ke negara sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP),

"Sekitar 80 persen dari total penerimaan tersebut dikembalikan ke KUA untuk melaksanakan program termasuk di dalamnya pemberian tunjangan jasa profesi dan transportasi kepada petugas pelaksana KUA," katanya.

Menurut dia, selama ini sebagian besar masyarakat tahunya KUA hanya sebagai kantor layanan administratif pernikahan, padahal ruang lingkup tugas mereka luas sekali salah satunya melaksanakan sebagian tugas Kantor Departemen Agama Kota/Kabupaten di bidang urusan agama Islam.

"Dengan lingkup tupoksi seluas itu, satu KUA hanya mendapat anggaran operasional Rp3 juta per bulan. Bila kemudian dana PNBP yang menjadi hak KUA masih saja tertunda karena administratif di tingkat pusat, tentu keseriusan pemerintah untuk mewujudkan pelayanan publik yang bersih dan profesional patut dipertanyakan." katanya.

Dia menambahkan, komisi VIII DPR telah mengingatkan pemerintah bahwa selain semangat menutup pintu gratifikasi ditinggikan, semangat mencarikan solusi harus menjadi langkah silmultan.

Pewarta: Zabur Karuru
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2014