Jakarta (ANTARA News) - Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan lambannya proses perizinan usaha di suatu daerah dampaknya lebih merugikan dibanding nilai uang korupsi untuk memperlicin perizinan itu sendiri.

"Kerugian karena keterlambatan proses tersebut justru lebih besar dari korupsi itu sendiri, karena pengusaha itu ingin membeli waktu. Daripada keluar uang untuk setahun mengurus perizinan, mending dia keluar uang untuk sebulan dengan cost sekian," kata Kalla saat membuka Raker Pengawasan Daerah Tingkat Nasional di Gedung Kementerian Dalam Negeri di Jakarta, Selasa.

Oleh karena itu, Wapres mengatakan prosedur birokrasi yang berbelit-belit perlu dipangkas agar proses perizinan di daerah lebih efisien sekaligus menekan potensi korupsi oleh pejabat lokal.

"Sekarang ini apa-apa harus minta payung hukum terlebih dahulu, Perpres, Keppres, Dirjen minta Permen (Peraturan Menteri), akhirnya butuh waktu setahun baru selesai untuk izin lahan saja," jelas dia.

Dengan demikian, peran pengawasan dari inspektorat jenderal menjadi penting untuk diperketat terkait kegiatan dan kebijakan yang diambil para pejabat di daerah.

"Agar roda pemerintahan dan roda pembangunan berjalan lebih cepat, diperlukan suatu pengawasan yang lebih baik. Namun, jangan sampai pengawasan itu justru menyebabkan suatu sistem malah tidak berjalan," jelasnya.

Raker Pengawasan Daerah Tingkat Nasional digelar di Kantor Kemendagri Jakarta, Selasa, diikuti oleh 34 wakil gubernur dan inspektorat jenderal dari seluruh provinsi, serta irjen dari kementerian dan lembaga pemerintah non-kementerian.

Wapres menjelaskan lembaga inspektorat di lembaga pemerintah bukan merupakan tempat karyawan buangan melainkan posisi yang strategis mengingat tugasnya sebagai pengawas.

"Memang kadang-kadang di beberapa tempat, kalau ada karyawan yang tidak disukai dipindah ke inspektorat. Di banyak organisasi, inspektorat merupakan tempat pembuangan seperti halnya litbang," kata Jusuf Kalla.

Dalam sistem pemerintahan Indonesia, jumlah ketersediaan pengawas sudah cukup, mulai dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Badan pemeriksa Keuangan (BPK), kepolisian, kejaksaan, serta Komisi pemberantasan Korupsi (KPK).

Hanya saja peran pengawas internal yang berlapis-lapis itu sering menimbulkan ketidaksesuaian dalam prosesnya.

"Kita tidak kekurangan pengawas, bahkan kadang berlebihan. Tinggal bagaimana kerja sama yang baik untuk melaksanakan," ujarnya.

Pewarta: Fransiska Ninditya
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2014