"Selamat tinggal identitas lama, tunggu aku dengan yang baru," ujar seorang perempuan bernama Tya Setiawati, pekerja teater, penulis naskah dan sutradara. Dia juga menyutradarai Bumi Perempuan, sebuah pertunjukan teater yang digelar dalam rangkaian Konferensi Perempuan Penulis Drama Internasional (Women Playwrights International Conference/WPIC) di Jakarta, 19 sampai 24 November 2006. Tya yang dilahirkan di Bandung, 29 Juni 1978, memulai ketertarikannya dalam bidang seni teater ketika berkuliah pada Sekolah Tinggi Seni Indonesia di kota kelahirannya tahun 1996 dengan mengambil jurusan teater. "Kemudian ketika saya menikah dan harus tinggal bersama suami saya di Padang, saya pindah di Sekolah Tinggi Seni Indonesia Padang setelah sebelumnya melahirkan tiga orang anak saya," ujar perempuan yang menggunduli kepalanya tersebut. Tahun 2004 Tya memulai pergulatannya dengan kebudayaan Sumatera Barat yang sekarang ini telah menjadi identitas barunya. "Terus terang saya bukan orang Sumatera, saya lahir di Jawa Barat. Tetapi ketika saya menginjakan kaki di Sumatera Barat saya merasa memiliki kebudayaan itu," ujar perempuan berkacamata minus tersebut. Selain Bumi Perempuan, Tya juga pernah menyutradarai beberapa pertunjukan teater, seperti Ba Bi Ba Bu, Jam Dinding Yang Berdetak, Pelajaran, Suara-Suara Mati, Jangan Biarkan Pagi Datang serta Suatu Salah Paham. Bumi Perempuan adalah pertunjukan teater yang ia garap bersama Perempuan Pekerja Teater dari Sumatera Barat. "Perempuan Pekerja Teater ini adalah salah satu bentuk pemberdayaan perempuan dari teater Sakata tempat dimana saya sebenarnya berasal," kata dia. Menurut dia, untuk melakukan pemberdayaan perempuan harus dilakukan sebuah diskusi antar para perempuan. "Oleh karena itu saya perlu berdiskusi dengan sesama teman perempuan, sehingga Perempuan Pekerja Teater inipun akhirnya didirikan," kata dia. Bumi Perempuan adalah salah satu bentuk hasil diskusinya dengan para rekan perempuan yang ingin berbicara tentang perempuan dengan segala identitas yang melingkupinya. "Media orasi saya tentang perempuan adalah teater. Dalam pertunjukan ini saya ingin mengatakan tentang optimisme perempuan dalam mendobrak identitas keperempuanan yang selama ini mengungkung mereka," ujar ibu bertubuh mungil ini. Perempuan agraris yang menjadi latar belakang Bumi Perempuan adalah sebuah ide yang berangkat dari kultur Sumatera Barat yang melingkupi Tya sekarang ini. "Sampai saat ini, di Padang, masih banyak perempuan yang berkutat dan hidup dalam budaya agraris yang tidak bisa lepas dari rutinitas hidup mereka," ujarnya sambil menghapus peluh di pelipisnya. Perempuan agraris juga menjadi wakil dari salah satu golongan perempuan pekerja keras yang selama ini notabene selalu terpinggirkan dengan peran ganda mereka. "Para perempuan pekerja itu tentu memiliki cita-cita pribadi mereka tentang ingin menjadi apa mereka nantinya. Tetapi selama ini mereka masih terkungkung dengan identitas mereka sebagai seorang perempuan menurut konstruksi masyarakat banyak," ujarnya. Perempuan yang dikonstruki harus selalu mengurus rumah tangga, harus lemah lembut dan segudang stereotipe lainnya yang membuat mereka terkungkung di sana. "Saya ingin perempuan mendobrak itu semua, karena perempuan juga manusia yang merupakan makhluk paling sempurna di muka bumi. Perempuan juga kuat, tetapi selama ini selalu dilemahkan," ujarnya. Bumi Perempuan dipentaskan secara eksploratif dengan manampilkan banyak simbol agar para penonton memiliki interpretasi pribadi terhadap pertunjukan tersebut. "Saya tidak ingin menggurui penonton atau orang lain, saya hanya ingin menyampaikan pesan melalui eksplorasi gerak tubuh serta suara dari para pemain yang kesemuanya perempuan itu," katanya. Simbol-simbol yang ditampilkan salah satunya adalah dengan penggundulan kepala. "Saya dan tiga orang pemain lainnya menggunduli kepala karena kami ingin mendobrak identitas bahwa perempuan harus selalu berambut panjang," ujarnya sambil tersenyum. Tanpa rambut pun, saya masih perempuan, seorang manusia utuh yang juga memiliki kekuatan, katanya. Dengan menggunduli rambut, dia ingin menyatakan bahwa para perempuan telah meninggalkan identitas lamanya dan telah lahir menjadi "saya dan kami yang baru". Itulah karya teater kontempores pertama dari Tya. Sekam yang begitu banyak mewarnai lantai panggung pertunjukan Bumi Perempuan itu, menurut Tya, juga salah satu simbol dari perempuan agraris yang keras serta berkarakter kuat. Mimpi Adalah Segalanya "Lebih baik disiksa secara fisik, daripada hidup tanpa mimpi," ujar Tya dengan senyum di wajah bulatnya. Mimpi, menurut Tya, adalalah salah satu bentuk optimisme hidup yang harus terus dimiliki oleh setiap manusia, terutama perempuan yang selama ini banyak sekali mengalami ketidakadilan. "Banyak perempuan pekerja keras yang kebanyakan berasal dari pedesaan sudah tidak memiliki mimpi untuk kehidupan yang lebih baik. Mereka kebanyakan hanya menurut dan menerima apa yang menimpa mereka terutama dalam kehidupan rumah tangganya," kata dia. Dalam salah satu adegan pertunjukannya Tya menampilkan seorang perempuan yang mengatakan sudah berkali-kali mengalami kekerasan dalam rumah tangga, tetapi ia masih tetap hidup karena memiliki mimpi. "Perempuan yang memukul-mukul tong adalah bentuk simbolisasi terhadap keperkasaan perempuan yang tidak bisa diremehkan," ujarnya sambil membetulkan letak posisi kacamatanya. Tya ingin semua perempuan optimis terhadap hidupnya serta mau mendobrak identitas lama dan menjadi manusia baru yang utuh. "Perempuan harus maju bersama. Itu optimisme yang ingin aku bangun, mudah-mudahan terasa walaupun cukup provokatif," kata Tya. (*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2006