Jakarta (ANTARA News) - Para petani telah lama mencatat korelasi antara hujan badai dan wabah penyakit antar-tanaman. Jamur parasit dikenal dengan sebutan "karat" dapat tumbuh merajalela terutama setelah hujan, menggerogoti gandum dan mengurangi hasil panen.

Sementara, catatan sejarah cuaca menunjukkan guyuran hujan dapat menyebarkan "karat" dan patogen lain di seluruh populasi tanaman.

Dalam sebuah makalah yang diterbitkan "Journal of the Royal Society Interface", sebuat tim dari MIT dan Universitas Liege di Belgia, menyajikan gambar berkecepatan tinggi dari percikan hujan di berbagai daun yang dilapisi dengan cairan yang tercemar.

Seperti terlihat di gambar beresolusi tinggi, tetesan hujan dapat bertindak sebagai agen penyebar, dalam beberapa cipratan air yang terkontaminasi memercik jauh dari daunnya.

Para peneliti mengamati pola khas dari penyebaran dan menemukan bahwa kisaran penyebaran tergantung pada sifat mekanik tanaman, terutama kepatuhan dan kelenturannya.

Lydia Bourouiba, Pengembangan Karir Esther dan Harold E. Edgerton, Asisten Profesor Teknik Sipil dan Lingkungan di MIT, mengatakan pemahaman hubungan antara sifat mekanik tanaman dan penyebaran penyakit kemungkinan bisa membantu para petani menanam tanaman yang lebih tahan penyakit.

"Kita dapat mulai berpikir bagaimana cara cerdas menemukan kembali polikultur, di mana Anda bisa membolak-balik spesies tanaman dengan  sifat mekanik yang saling melengkapi dalam beberapa tahap perkembangan mereka," kata Lydia yang merupakan pengarang senior dalam makalah tersebut.

"Polykultur adalah sebuah konsep yang suda tua jika Anda melihat budaya asli, tapi ini adalah salah satu cara untuk menunjukkan secara ilmiah bahwa dengan membolak-balik tanaman dalam satu ladang, Anda dapat secara mekanis dan alami mengurangi jangkauan pemindahan patogen selama hujan."


Menelusuri dinamika cairan wabah

Dalam makalah mereka, Lydia Bourouiba dan Tristan Gilet dari Universitas Liege, pertama-tama membahas anggapan luas bahwa patogen melapisi daun dalam film tipis.

Tim melakukan percobaan dengan lusinan jenis dedaunan umum termasuk ivy, bambu, peppermint, dan daun  pisang. Mereka melakukan ratusan percobaan untuk tiap daun menggunakan 30 contoh dari daun asli dan 12 bahan yang direkayasa secara artifisial. Dalam percobaan awal, peneliti mensimulasikan hujan dengan mengalirkan air melalui wadah yang dilubangi dengan celah-celah kecil. Wadah digantung beberapa meter di udara, cukup tinggi untuk menetes kecepatan terminal--kecepatan tetesan air hujan yang sebenarnya pada benturan.

Para peneliti memotret urutan peristiwa begitu tetesan hujan menghantam daun, menggunakan videography berkecepatan tinggi pada 1.000 frame per detik. Dari gambar-gambar tersebut, Lydia dan Tristan mencatat bahwa saat air jatuh, daun tak mampu mendukung lapisan tipis film, alih-alih membentuk tetesan pada permukaannya. Tim menyimpulkan bahwa patogen, pada akhirnya, harus jatuh sebagai tetesan, bukan film pada lapisan permukaan daun.

"Hal itu pada awalnya terlihat seperti perbedaan kecil, namun saat kita melihat dinamika cairan dari fragmentasi dan menghasilkan rentang kontaminasi di sekitar dan pada daun yang terinfeksi, sebenanrnya hal itu mengubah banyak dinamika dalam hal mekanisme di mana patogen dipancarkan," kata Lydia.

Untuk mengamati perbedaan yang dinamis seperti itu, tim pertama-tama melakukan simulasi hujan pada permukaan datar yang dilapisi film tipis. Saat sebuah tetesan menghantam permukaan, tetesan itu jatuh dalam bentuk semprotan mirip mahkota dari bahan yang tipis, meski hampir semua semprotan tetap tinggal di sekitar daerah umum. Sebaliknya, tim menemukan tetesan hujan yang menciprat pada daun yang tertutupi tetesan, dari pada sebuah film, meluncurkan tetesan ini lebih jauh dan luas.

Penerjemah: Ida Nurcahyani
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015