"Inti dari penelitian koalisi Anti Mafia Hutan bersama Forest Trends adalah melakukan evaluasi kecukupan persediaan kayu legal bagi industri kehutanan Indonesia yang sedang tumbuh. Hasil temuan memberikan indikasi kerugian negara yang besar," kata juru bicara Koalisi Anti Mafia Hutan Grahat Nagara, dikutip dari rilis yang diterima ANTARA News, Rabu.
Jika menggunakan asumsi semua yang didapat dari rimba campuran, lanjutnya, maka indikasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang tidak terpungut dari dana reboisasi (DR) mencapai setidaknya US$250 juta dan dari provinsi sumber daya hutan (PSDH) mencapai Rp1,9 triliun per tahun.
"Jika dihitung total dari tahun 1991, potensi kerugian keuangan negara mencapai Rp 55 triliun. Nilai total kerugian bahkan sebenarnya bisa mencapai lebih tinggi lagi jika memasukkan perhitungan penggantian nilai tegakan (PNT) yang dilakukan kalau berasal dari pembukaan lahan oleh izin pemanfaatan kayu (IPK)," jelas Grahat.
Dalam laporan yang berjudul "Indonesia's Legal Timber Supply Gap and Implications for Expansion of Milling Capacity", menunjukkan industri kehutanan Indonesia dalam lima tahun terakhir menggunakan pasokan kayu terindikasi lebih dari 25% dari sumber yang illegal.
Pada 2014 saja setidaknya lebih dari 30% kayu yang dikonsumsi oleh industri tidak tercatat oleh kementerian kehutanan. Jumlah kesenjangan volume kayu tersebut sebesar 219 juta m3 jika dikalkulasi sejak tahun 1991 hingga 2014.
Analisis yang sepenuhnya menggunakan data dari Kementerian Kehutanan dan industri juga mengindikasikan bahwa kayu tersebut bersumber dari praktik tebang habis hutan alam dan sumber-sumber ilegal lainnya, atau bukan dari hutan tanaman industri (HTI) dan hak pengusahaan hutan (HPH) yang dikelola baik.
Jika pabrik pulp dan kertas di Indonesia beroperasi dengan kapasitas penuh, dan jika perusahaan-perusahaan mewujudkan rencana investasi multi-miliaran dolar untuk pabrik baru, maka industri harus menggandakan pasokan kayu untuk memenuhi permintaan. Diperkirakan kesenjangan pasokan kayu akan mencapai hingga 59%.
Penelitian menggunakan perbandingan antara data persediaan kayu Kementerian Kehutanan (sekarang bernama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) dan data volume produksi yang dilaporkan pihak industri kehutanan.
Pewarta: Monalisa
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2015