Surabaya (ANTARA News) - Gerakan Penyelamat Nahdlatul Ulama (GPNU) mengkritisi pelaksanaan Muktamar Ke-33 Nahdlatul Ulama (NU) di Jombang, Jawa Timur, 1-5 Agustus, dengan kepanitiaan ala "event organizer" (EO) yang menargetkan dana sebesar Rp15 miliar.

"Ada kabar dari panitia (EO) Muktamar NU 2015 bahwa perhelatan itu akan menelan dana Rp15 miliar, tentu hal itu sangat berlebihan. Sebagai organisasi para ulama seharusnya menampilkan kesederhanaan dan keikhlasan," kata koordinator GPNU M Khoirul Rijal di Surabaya, Jumat.

Apalagi, katanya, kepanitiaan yang bersifat EO itu tidak cocok untuk organisasi yang berbasis pesantren dan masyarakat tradisional, karena keikhlasan khas pesantren itu justru khas NU, karena NU itu menampilkan kesederhanaan dan bukan kemewahan.

"Dana yang lumayan itu bisa dimanfaatkan untuk memberdayakan ekonomi umat atau jamaah NU yang masih banyak dihimpit soal ekonomi, apalagi dana bantuan untuk muktamar itu tidak hanya sponsorship tapi juga dari kantong kas negara, sehingga harus kembali kepada rakyat," katanya.

Menurut dia, pelaksanaan Muktamar NU yang nantinya kembali pada spirit pesantren dan juga akan memanfaatkan sarana pesantren itu seharusnya mengutamakan nilai-nilai pesantren yakni kesederhanaan, kejujuran, pengabdian, gotong-royong, dan kebersamaan.

"Kembali secara spirit dan filosofis itu juga harus kembali secara fisik, karena dengan kembali ke pesantren, kita dihadapkan pada fasilitas seadanya, dilayani secara apa adanya. Tetapi dari sini kita bisa bangkitkan pola hidup sederhana dan kebersamaan," katanya.

Oleh karena itu, kepanitiaan forum musyawarah tertinggi di lingkungan organisasi NU itu seharusnya dikembalikan kepada organisasi, baik kepanitiaan pusat (nasional), kepanitiaan daerah (provinsi), maupun kepanitiaan lokal (kabupaten/kota), sehingga bukan kepanitiaan ala EO yang menggerus kesederhanaan ala ulama dan pesantren.

"Sejarah mencatat, tahun 1983-1984 NU telah menyelenggarakan hajat nasional munas dan muktamar di pesantren di desa terpencil Asembagus, Situbondo. Kala itu NU menegaskan kembali ke Khittah 1926 dan menegaskan Pancasila dan UUD 1945 sebagai komitmen final, karena menjamin hablumminallah dan hablumminannas," katanya.

Tahun 1986, NU menyelenggarakan munas di Desa Kasugihan, Cilacap, Jawa Tengah, dan menelurkan gagasan besar mengenai pembangunan nasional dan konsep ijtihad, yang mampu menggerakkan dunia pemikiran Islam.

Pada 1987, NU menyelenggarakan munas di Bagu, sebuah desa terpencil di Nusa Tenggara Barat. Di situ, NU mengeluarkan keputusan dibolehkannya perempuan menjadi presiden yang saat itu masih dianggap kontroversial.

"Semuanya dikemas dengan sederhana, namun hasil muktamar memberikan sumbangsih yang besar pada bangsa, karena itu Muktamar NU di Jombang yang juga mengundang ulama-ulama dari sejumlah negara itu tidak harus mewah. Yang penting adalah prosesnya sederhana, tapi hasilnya besar. Bukan prosesnya yang mewah, tapi hasilnya nihil," katanya.

Ia menambahkan sejak zaman pendiri NU yakni KH Hasyim Asyari, sikap hidup sederhana dan tidak berlebihan dalam segala hal merupakan ciri utama warga Nahdliyin.

"Dengan semangat yang diajarkan para pendiri NU yang meneladani Rasulullah itu pula, NU mampu bertahan sebagai organisasi keagamaan hingga memasuki usia ke-90. Kesederhanaan dan keikhlasan itulah ruh NU, tentu tanpa kesederhanaan dan keikhlasan itu, maka NU ibarat jasad tanpa ruh," katanya.

Pewarta: Edy M Ya`kub
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2015