Oleh Yuri Alfrin Aladdin Brussel (ANTARA News) - Uni Eropa (UE) yang bermarkas besar di Brussel, Belgia, pada 7 Desember 2006 memperlihatkan perhatian besarnya terhadap kehidupan demokrasi di Indonesia dengan menggelar seminar sehari bertajuk "Perspektif Indonesia: Pluralisme dan Demokrasi". Dalam perhelatan tersebut, UE bekerjasama dengan lembaga kajian European Institute for Asian Studies (EIAS) guna merayakan Hari UE-Indonesia, dengan menampilkan tokoh cendekiawan, tokoh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), anggota parlemen, serta para akademisi dari Indonesia maupun Eropa. Di acara itu pula Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Prof DR KH Din Syamsuddin, menjadi pembicara utama, dan Komisioner Eropa (setara dengan menteri di wilayah UE) untuk Hubungan Luar Negeri, Benita Ferrero-Waldner, yang membukanya. Dalam pidatonya, Waldner mengatakan, tema seminar "Pluralisme dan Demokrasi" merupakan topik paling penting di dunia belakangan ini. Inti dari perdebatan mengenai topik tersebut adalah menyangkut masalah identitas, serta hubungan individu dengan negara. Waldner mengatakan, isu-isu tersebut tidak dibatasi untuk hanya bagian tertentu di dunia. Serangkaian isu tersebut, kata dia, merupakan hal yang dihadapi masyarakat internasional sebagai tantangan globalisasi, demokrasi, dan perubahan-perubahan di bidang ekonomi. "Indonesia merupakan negara berpenduduk Islam terbesar di dunia, dan memiliki suatu kepemimpinan untuk dialog dan reformasi. Jadi, sangat ideal menempatkan Indonesia dalam rangka mempromosikan masalah demokrasi, dan pluralisme kepada masyarakat internasional," katanya. Sementara itu, Din Syamsuddin menegaskan, Islam memainkan peranan penting dalam memajukan demokrasi di Indonesia. "Dapat dikatakan bahwa demokrasi di Indonesia tidak akan berjalan tanpa partisipasi masyarakat muslim," katanya. Dia mengatakan, Islam bukanlah ancaman bagi demokrasi dan sesungguhnya nilai-nilai demokrasi sesuai dengan ajaran Islam. Meskipun demikian, dia mengakui, terdapat polemik di antara para pemikir politik Muslim, apakah Islam pro-demokrasi atau tidak. "Namun demikian, banyak ayat-ayat Al Quran dan sunah nabi yang mendukung nilai-nilai demokrasi. Pada kasus Indonesia, banyak para pemikir politik Muslim dan aktivis yang telah menyarankan demokrasi sebagai bentuk terbaik dalam pemerintahan," kata dia. Din mengemukakan, para pemimpin Muslim dari organisasi massa Islam terbesar di Indonesia, yakni Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) telah berulangkali menyatakan bahwa Pancasila sebagai dasar negara merupakan hal yang final. Masyarkat Islam di Indonesia telah berkomitmen untuk memastikan adanya demokrasi pluralistik dengan di dalamnya Islam memainkan suatu peranan penting untuk memantapkan demokrasi. Menurut dia, organisasi Muhammadiyah dan NU telah memainkan peranan penting sebagai kelompok masyarakat madani yang super, suatu mega-LSM di dalam mengampanyekan pemerintahan yang baik. "Sebagai contoh, Muhammadiyah dan NU telah mendirikan, sejak tiga tahun lalu, suatu gerakan moral anti korupsi. Selain itu, melalui ribuan sekolah dan perguruan tingginya dan melalui organisasi kepemudaannya yang mandiri, Muhammadiyah mengajarkan pendidikan tanpa kekerasan," ujarnya. Din juga berpendapat bahwa peranan Islam di dalam memperkuat demokrasi di Indonesia telah dibentuk dalam berbagai cara, antara lain menegaskan kompatibilitas serangkaian nilai Islam terhadap demokrasi, reformasi judisial dan hukum, mendorong manajemen pemerintahan yang baik, memperkuat basis kebudayaan, serta mempromosikan dialog antara agama dan kebudayaan. Puritanisme-Radikal Direktur Eksekutif Moderate Muslim Society (MMS), Zuhairi Misrawi, dalam forum tersebut mengemukakan, gerakan puritanisme-radikal telah menjadi fakta politik dan kultural yang tak bisa dihindari lagi di Indonesia. "Setidak-tidaknya hal tersebut bisa djelaskan melalui fenomena gerakan keagamaan sebagai berikut: munculnya gerakan-gerakan keagamaan yang mengusung gagasan puritan radikal serta munculnya peraturan-peraturan daerah (perda) yang secara khusus disebut dengan Perda Syariat," kata tokoh intelektual muda dari Nahdlatul Ulama (NU) itu. Untuk fenomena gerakan keagamaan, dia mencatat, terdapat sejumlah gerakan keagamaan, seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII), dan sejumlah organisasi lainnya. "Gerakan-gerakan tersebut mempunyai perangkat organisasi yang sangat kuat, dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten, kecamatan, bahkan di tingkat desa," katanya. Untuk gejala munculnya serangkaian Perda Syariat, Zuhairi menunjukkan, dalam tingkat nasional kalangan puritan sedang berjuang untuk membuat undang-undang anti-pornografi dan anti-pornoaksi. "Daerah otonomi khusus untuk Aceh, terutama masalah penegakan syariat Islam, hal ini telah menginspirasi beberapa daerah untuk melakukan hal yang sama," ujarnya. Dia mengatakan bahwa Aceh, menurut beberapa kalangan puritan-radikal, dianggap sebagai model penerapan syariat di Indonesia. "Sementara itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang memberikan masukan tentang keagamaan kepada negara, baru saja mengeluarkan fatwa tentang haramnya liberalisme, sekularisme, dan pluralisme, selain pengharaman terhadap Jemaat Ahmadiyah Indonesia," kata Zuhairi. Menurut dia, fatwa tersebut secara tidak langsung telah memberikan legitimasi dan justifikasi atas meluasnya aksi kekerasan terhadap kelompok-kelompok yang mengusung isu sekularisme, liberalisme dan pluralisme, termasuk juga penyerangan dan pengusiran terhadap jemaat Ahmadiyah Indonesia di Jawa Barat dan Nusa Tenggara Barat. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2006