Masa depan sebenarnya tidak serba baru lagi, artinya: masa depan secara kualitatif mulai dari saat ini. Masa depan mustahil ada tanpa masa lalu
Jakarta (ANTARA News) - Tidak banyak wartawan yang merekam peristiwa dan menuangkan ke dalam tulisannya dari perspektif filosofis.

Dari yang sedikit itu, tak berlebihan bila buku "Kerja Kerja Kerja" karya redaktur senior Kantor Berita Antara, Aloysius Arena Ariwibowo, masuk dalam kategori itu.

Buku yang diterbitkan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat dan dicetak oleh PT Semesta Rakyat Merdeka itu menjadi salah satu kado istimewa pada Peringatan Hari Pers 9 Februari 2015 yang dibagi-bagikan kepada undangan. Buku ini pun tersaji di toko buku.

Terdapat 66 judul artikel yang dibungarampaikan dalam buku ini. Lima bab buku ini terdiri atas bab "Kerja Kerja Kerja", "Kerja dan Kasus Korupsi", "Kerja, Seni, Budaya", "Kerja dan Sepak Bola Indonesia", serta "Kerja dan Sepak Bola Mancanegara".

Soal sepak bola tersaji dalam dua bab sesuai dengan minat yang tinggi dari Ariwibowo atas "si bundar". Sebelumnya Ariwibowo pernah menulis buku "Maniak Bola", kumpulan esai tentang sepak bola.

Perspektif filosofis menjadi suatu kewajaran dari buku yang ditulis alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta (1986) dan Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Wedabhakti, Yogyakarta (1987-1990) ini.

Judul buku ini mengambil "tagline" dari Presiden Joko Widodo pada saat pertama kali menyampaikan pidato seusai pelantikannya sebagai Presiden RI periode 2014-2019 dalam Sidang Umum MPR pada 20 Oktober 2014. Jokowi, panggilan akrabnya, saat itu mengajak seluruh kalangan masyarakat untuk kerja, kerja, dan kerja. Kabinet pemerintahannya pun diberi nama dengan Kabinet Kerja.

Artikel pertama buku ini dibuka dengan judul "Argumentum Ad Misericordiam". Bagi orang awam, tentu saja, membaca judul itu sambil berpikir, apa maksud dan artinya. Setelah membaca isinya, baru diketahui bahwa tulisan itu berisi soal sesat pikir yang sengaja diarahkan untuk membangkitkan rasa belas kasihan lawan bicara dengan tujuan untuk memperoleh pengampunan. Itulah makna "Argumentum Ad Misericordiam".

Tak mengherankan bahwa pada artikel itu, penulis buku ini menceritakan kembali kisah tentang kesaksian Anggodo Widjojo, seorang saksi kunci, saat memberikan keterangan di hadapan Tim Independen Verifikasi Fakta dan Hukum dari Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) pada 5 November 2009 terkait kasus penyadapan pembicaraannya per telepon yang diputar pada sidang Mahkamah Konstitusi dua hari sebelumnya, atas dugaan rekayasa penyalahgunaan wewenang dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi saat itu, Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah.

Tertulis di buku ini, "Pemeriksaan di polisi saya siap, tapi saya jangan diestafet, saya capek sudah tua," kata Anggodo ketika memberi keterangan di hadapan Tim Delapan di Gedung Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), Jakarta, Kamis (5/11)" (halaman 4).

Penulis buku ini juga mengutip pernyataan Anggodo, "Semalam setelah ada eksposes Bapak, saya minta perlindungan atas keselamatan, bukan saya takut diadili rakyat, karena saya yakin saya ini rakyat Indonesia yang butuh keadilan. Begitu gencarnya rakyat, saya takutkan itu dari KPK".

Penulis buku ini mencatat bahwa apa yang disampaikan oleh terpidana kasus percobaan penyuapan atas pimpinan KPK itu ungkapan sarat belas kasihan. Publik diseret kepada ungkapan sarat kekhawatiran. Apa yang disampaikan Anggodo itu bernuansa kesimpulan yang masih memerlukan dukungan premis-premis mendasar. Mengapa tiba-tiba sampai takut diadili rakyat? Apakah rakyat begitu mengabaikan nurani kemanusiaan.

Ariwibowo mencatat alunan pernyataan seputar kisruh Anggodo itu bertangga nada meminta belas kasihan, kerelaan, kemurahan dan kedermawanan dari publik. Pengajuan "argumentum ad misericordiam" bertujuan menimbulkan rasa belas kasihan dan kemurahan hati agar dapat diterima publik dengan nurani bening, dengan hati jernih.

Di bawah tajuk kesesatan relevansi dalam logika, argumen itu biasanya berhubungan dengan usaha agar sesuatu perbuatan dimaafkan. Dalam sebuah pengadilan, seorang pesakitan mengajukan argumen untuk menimbulkan belas kasihan hakim. Publik diharapkan tersentuh belas kasihan ketika membaca naskah berjudul kisruh Anggodo.

Catatan minor dari tulisan Ariwibowo ini, tidak memberikan detail waktu kapan orang yang ditulisnya itu memberikan keterangan. Hanya Kamis (5/11), alangkah lebih eloknya ditulis lengkap 5 November 2009 untuk menunjukkan bahwa peristiwa itu menjadi catatan tersendiri dalam dinamika penegakan hukum di Tanah Air. Lalu soal akurasi nama, tertulis Anggodo dan Anggoro seperti pada alinea pertama dan kedua pada halaman 5.

"Crop circle"

Kita tengok sekarang soal perspektif yang ditawarkan Ariwibowo pada salah satu artikelnya tentang sepak bola sebagaimana tertuang pada Bab IV Kerja dan Sepak Bola Indonesia (halaman 161).

Ia menulis, "Berbekal kreativitas yang dipateri dalam harapan datangnya Ratu Adil, foto Ketua Umum PSSI Nurdin Halid beredar luas di dunia maya. Di situ jejaring sosial "facebook", beredar foto "crop circle" yang menyindir Ketua Umum PSSI Nurdin Halid.

Di dunia maya, UFO lantas diartikan dalam berbagai hal, bukan sebatas "unidentified flying object" seperti seharusnya. UFO diartikan sebagai "unidentified football organization", "unofficial football organization". Lagi-lagi ini contoh jenaka dari ekuivok (sama suara tetapi tidak sama artinya).

Rejeki nomplok kehadiran crop circle di areal persawahan Dusun Rejosari dan Johomangsan, Desa Jogotirto, Kecamatan Berbah, Kabupaten Sleman, Yogyakarta dapat dibaca sebagai "narasi kecil" dari Ratu Adil. Kiprah Nurdin Halid dapat ditafsirkan sebagai "narasi besar" dari Ratu Adil bernama demokrasi.

Kalau Ratu Adil menjanjikan harapan serba baru maka berdasarkan apa bisa ditentukan bahwa masa depan lebih baik ketimbang masa sekarang? Bukankah harapan masa depan akan lebih baik mengandaikan juga masa kini. Masa depan sebenarnya tidak serba baru lagi, artinya: masa depan secara kualitatif mulai dari saat ini. Masa depan mustahil ada tanpa masa lalu (halaman 164).

Begitulah Ariwibowo cara mengkritisi kepemimpinan di PSSI saat itu. Lagi-lagi konteks waktu kurang detail tersaji pada buku ini.

Kehadiran pelatih sepak bola tim nasional Indonesia asal Austria Alfred Riedl juga menjadi catatan Ariwibowo pada dua artikel di buku ini. Salah satunya diberi judul "Hati Bening Riedl". Ia menulis, kisahnya mirip-mirip dengan dongeng dari Fabel Aesop berjudul "Serigala Berbulu Domba" yang mengerucut pada pelajaran perilaku seputar hati yang bening bahwa kadang-kadang terlalu cerdik bisa tidak menguntungkan.

PSSI hendaknya tidak mengulangi perilaku layaknya domba-domba yang mengira bahwa serigala itu salah satu dari mereka, akibatnya mereka tidak mempedulikannya ketika ia berjalan-jalan di antara mereka. Bahkan gembalanya tidak mengetahui siapa sebenarnya serigala itu.

Kisah serigala kini mencekat PSSI. Hati bening Riedl menawarkan kebaruan nurani dan kejernihan olah batin serentak olah kata. Ketika ditanya seputar memori terindah dan terburuk selama kariernya di Indonesia, Riedl menjawab,"Ada momen indah yang saya rasakan di sini. Momen terburuk? Saat saya ditentang tanpa alasan jelas. Saya dipecat tak masalah, tapi apa alasannya?"

Buku setebal 284 halaman ini menawarkan kepada pembaca untuk melihat dari sisi lain dari beragam peristiwa yang direkam ulang dan dijejerkan berupa hamparan tulisan oleh Ariwibowo.

Penulis buku ini memang bermaksud memberikan sesuatu kepada para pembacanya sehingga buku ini layak disimak. Seperti pesan penulis, "laborare est orare", bekerja adalah berdoa.
(B009)

Oleh Budi Setiawanto
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2015