Jakarta (ANTARA News) - Para pemangku kebijakan di berbagai kota besar di kawasan Asia kini mulai melirik serius sistem transportasi publik bernama Angkutan Bus Cepat (Bus Rapid Transit/BRT), sebagai alternatif solusi transportasi perkotaan. BRT secara umum dipahami sebagai sistem yang mengutamakan pergerakan armada bus dengan ruas jalur tersendiri di jalan-jalan raya (Wright, 2005). Secara nyaris bersamaan, para pengelola kota-kota Asia mulai menggunakan konsep BRT dalam kebijakan transportasi perkotaan mereka. Peneliti dari Institut Strategi Lingkungan Global (IGES) Naoko Matsumoto mencatat, pada 15 Januari 2004 TransJakarta busway mulai beroperasi di trayek sepanjang 12,9 km dan melintasi jantung kota Jakarta. Pada 1 Juli 2004, koridor-koridor BRT mulai menjadi bagian dari reformasi sistem transportasi publik Seoul, Korea Selatan. Sementara di Beijing, China, per 25 Desember 2004 BRT tahap pertama mulai beroperasi dan melayani penduduk kota tersebut bepergian secara lebih efektif dan efisien. Tren penggunaan sistem BRT di Asia dapat dirunut ke era awal kemunculan sistem ini di Curitiba (Brazil) dan Bogota (Columbia), keduanya merupakan negara di kawasan Amerika Latin. Menurut Naoko, pembangunan pertama BRT dengan skala luas mulai dilaksanakan di Curitiba (Brazil) pada 1974. Pengalaman Curitiba kemudian menjadi inspirasi bagi kota-kota lain untuk menciptakan sistem serupa. Pada 1970-an, masih menurut Naoko, pembangunan sistem BRT hanya ada di Benua Amerika, Utara dan Selatan. Baru pada akhir era 90-an, replika konsep BRT mendapatkan momentum, yaitu dengan dibukanya beberapa lajur angkutan bus cepat di Quito, Equador pada 1996, Los Angeles, Amerika Serikat, (1999), dan Bogota, Columbia (2000). Namun proyek Transmilenio di Bogota-lah yang paling menyedot perhatian dunia sebagai contoh seni sistem BRT. Dan hingga tahun 2005, terdapat lebih dari 70 sistem BRT tersebar di seluruh penjuru dunia. Jakarta Sebagai ibukota negara, Jakarta merupakan salah satu kota paling diminati penduduk Indonesia. Dengan luas sekitar 660 km persegi dan populasi 8,7 juta orang pada 2005, tingkat kepadatan di provinsi ini mencapai 13.150 orang per km persegi. Selama 1985-2000, walaupun terdapat penurunan angka kepemilikan mobil pribadi akibat krisis ekonomi, waktu jarak tempuh di empat rute utama mengalami peningkatan hingga 50 persen (Pacific Consultants International and Almec Corp, 2003). Polusi udara juga mencapai taraf yang memburuk sejak tahun 1980-an ketika partikulat suspensi (TSP) melampaui 600 mikrogram/meter kubik, 35-40 persen di antaranya dihasilkan sektor transportasi (Heuberger, 2000). Pada Desember 2001, Guberbur DKI Jakarta Sutiyoso memutuskan untuk membangun sistem BRT dengan koridor pertama mengambil rute Blok M - Kota. Pematangan rencana dilakukan antara lain dengan mempelajari pengalaman BRT di Bogota lewat Seminar Internasional Pergerakan Manusia tahun 2003. Biaya pembangunan BRT tahap pertama di Jakarta mencapai Rp240 miliar atau setara dengan 29 juta dolar Amerika, semuanya diambil dari APBD Provinsi DKI Jakarta. Enam bulan beroperasi, TransJakarta busway berhasil melayani sekitar 40 ribu penumpang per hari, angka ini lebih besar daripada target 20 ribu dari total sekitar 60 ribu orang yang melintasi Blok M - Kota tiap harinya (Nurabianto, 2004). Dua koridor busway yaitu Pulogadung - Harmoni (14,3 km) dan Harmoni - Kalideres (18,7 km) mulai beroperasi dua tahun setelah koridor pertama diresmikan. Pemprov DKI Jakarta menargetkan pada akhir tahun 2006 rampung dibangun total tujuh koridor (The Jakarta Post, 2005). Namun TransJakarta busway bukannya berjalan tanpa hambatan sama sekali. Kendala berupa rusaknya ruas lintasan busway dan kapasitas halte yang tidak seimbang dengan jumlah pelanggan adalah sebagian di antaranya. Masalah lain yang juga perlu diatasi pihak pengelola TransJakarta busway terletak di pintu keluar-masuk penumpang yang hanya satu, layanan feeder yang belum optimal, jumlah armada bus yang juga relatif "kewalahan" melayani penumpang terutama pada jam-jam sibuk (Ernst, 2005). Seoul Seoul, ibukota Korea Selatan, dihuni oleh sekitar 10 juta orang dengan luas wilayah mencapai 605 km persegi. Menurut data Pemerintah Metro Seoul, kepadatan Kota Seoul telah berada di angka 16.994 orang per km persegi pada 2004. Seiring dengan pertumbuhan kota, jumlah perjalanan tiap harinya pun melonjak dari 5,7 juta pada 1970 menjadi 29,6 juta pada 2002. Kepemilikan kendaraan pribadi per tahun 2003 ditaksir mencapai 215 dari tiap 1.000 warga, padahal pada 30 tahun lalu prosentase kepemilikan hanya sekitar 0,2 persen populasi. Besarnya volume kendaraan pribadi melampaui kapasitas infrastruktur yang ada, sehingga muncullah persoalan kemacetan yang serius, polusi udara, kebisingan, kesulitan lahan parkir, dan tingginya angka kecelakaan di jalan raya. Kerugian ekonomi akibat kepadatan ini diperkirakan mencapai lebih dari 8 miliar dolar per tahun atau sekitar 4 persen GDP negeri ginseng tersebut (Kim dan Kang, 2005). Sejak tahun 60-an hingga 80-an, sektor bus merupakan moda transportasi publik paling berperan di Korea Selatan. Kereta Metro pertama kali dibangun pada 1974, dan terus berkembang menjadi moda transportasi umum yang paling populer. Hingga tahun 2004, total jaringan kereta api termasuk delapan jalur subway mencapai 487 km dan melayani sekitar 2,1 juta penumpang tiap tahunnya. Bus pun mulai kehilangan "pamor" ketimbang kereta api, banyak juga orang beralih ke kendaraan pribadi akibat menurunnya kualitas bus kota (Kim dan Kang, 2005). Pengembangan sistem kereta api Metro di Seoul membawa dampak tekanan fiskal yang tidak sepele. Utang pembiayaan konstruksi Metro mencapai enam milyar dolar AS, diperparah lagi pendapatan dari tiket penumpang yang hanya menutupi 75 persen biaya operasi sehingga defisit operasional Metro tiap tahunnya bisa sampai 634 juta dolar (data tahun 2004). Pada Juni 2002, seorang calon walikota Seoul bernama Myung-Bak Lee yang mengusung program pengurangan masalah sistem transportasi publik terpilih dengan suara terbanyak. Pada September 2002 Lee menetapkan reformasi sistem transportasi umum kota, dengan mendirikan tim pendukung yang antara lain terdiri atas para peneliti dari Institut Pembangunan Seoul (SDI). Rencana BRT ini pun ditentang habis-habisan oleh asosiasi operator bus. Lewat berbagai diskusi dan negosiasi, baru pada Februari 2003 tercapai kesepakatan antara Pemerintah Metropolitan Seoul dan operator bus bahwa bus-bus kota harus menata ulang dirinya, sementara BRT menempati ruas tengah jalan raya untuk tiga koridor. Pada awal-awal penerapan sistem BRT, muncul kebingungan di kalangan penduduk kota (Youn-hee, 2003) karena mereka bingung dengan perubahan rute bus dan sistem pewarnaan bus BRT. Namun seiring dengan waktu, penduduk Seoul pun mulai terbiasa dan memetik keuntungan dari sistem baru yang lebih murah dan cepat. Pencapaian terbesar BRT di Seoul mungkin terletak pada meningkatnya angka pengguna moda transportasi umum, yakni sekitar 5,5 persen dari 9,32 juta menjadi 9,83 juta orang penumpang. Pengguna bus umum mengalami peningkatan terbesar, yaitu 26,4 persen. Keberhasilan lain adalah peningkatan kualitas udara kota Seoul, karena kadar TSP berkurang jadi 58 mikrogram/meter kubik pada 2005 - angka terendah sejak tahun 1995 menurut data Pemerintah Metropolitan Seoul. BRT Seoul direncanakan untuk terus berkembang hingga mencapai panjang trayek 191 km pada 2008. Semua bus di Seoul akan diganti dengan bus premium: berpintu lantai rendah dan menggunakan bahan bakar gas. Beijing Di Beijing, China, sekitar 14 juta orang hidup di kota yang luasnya mencapai 16.800 km persegi. Laju pertumbuhan ekonomi yang sangat cepat selama dua dekade terakhir menyebabkan tingginya volume transportasi dan kepemilikan kendaraan pribadi. Setidaknya 2,8 juta mobil berlalu lalang di Beijing, berarti seperlima penduduk kota memiliki mobil pribadi (Liu, 2006). Tren motorisasi di Beijing juga menimbulkan kepadatan yang serius di berbagai sisi kota. Data statistik menunjukkan bahwa terdapat 87 titik kepadatan dan laju rata-rata lalu lintas hanya 12 km per jam, sehingga 40 persen pengguna jalan harus menghabiskan waktu satu jam lebih lama di ruas-ruas jalan yang macet (Zhenjiang, 2004). Kemacetan juga menimbulkan polusi udara serta lonjakan konsumsi bahan bakar (Hossain, 2006). Di China, sistem BRT dikembangkan oleh tingkat nasional bekerja sama dengan organisasi-organisasi internasional. Pada November 2001, Program BRT China dimulai sebagai bagian dari Program Kelangsungan Energi China (CSEP), didanai oleh Hewlett Packard dan Yayasan Blue Moon (Hossain, 2006), dengan target delapan kota termasuk Beijing. Bus-bus di Beijing sangat tidak menarik minat penumpang karena berjalan lambat dan pelayanannya yang buruk. Dihadapkan dengan persoalan laju pertumbuhan transportasi perkotaan dan rencana menjadi tuan rumah Olimpiade 2008, Pemerintah Kota Beijing memandang sistem BRT sebagai salah satu solusi penting dan pendamping jaringan kereta api memperluas cakupannya (Zhenjiang, 2004). Proyek BRT pertama dibagi menjadi dua tahap. Satu dengan panjang jalur lima km dari Qianmen (pusat kota) menuju Muxiyuan dan mulai beroperasi per 25 Desember 2004. Tahap kedua adalah koridor dengan panjang 16 km disebut dengan Southern Axis BRT Line One Beijing, dibuka pada 30 Desember 2005. Minat menggunakan moda transportasi bus di kota Beijing meningkat secara signifikan sejak BRT diterapkan. Pada hari ketiga BRT beroperasi, tercatat 130 ribu orang memilih alternatif kendaraan umum tersebut (Liu, 2006). Pada jam-jam sibuk BRT dapat melaju sekitar 22 km per jam, sedikit lebih cepat daripada bus konvensional di koridor yang sama. Bila semua jalur BRT telah dipisahkan dari ruas jalan kendaraan lain, diyakini kecepatan angkutan bus cepat bakal lebih tinggi daripada bus-bus reguler. Pemerintah Beijing berencana mengembangkan BRT melintasi kawasan barat dan utara kota, dan menambah panjang ruas hingga total 60 km pada akhir tahun 2008. Menilik pengalaman Jakarta, Seoul, dan Beijing dalam hal BRT, Naoko menggarisbawahi peran penting ?political will? para pemangku kebijakan di kota-kota besar Asia. "Gubernur Jakarta dan Walikota Seoul sangat aktif memimpin proyek adopsi BRT, mereka menempatkannya sebagai salah satu komitmen politik paling utama lalu membentuk tim khusus untuk mewujudkan program tersebut," kata dia.(*)

Oleh Oleh Ella Syafputri
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2006