Mekkah (ANTARA News) - Sesuai dengan syariat, Dam (denda) terhadap pelanggaran haji harus disembelih di Tanah Suci karena sangat berbeda dengan kurban yang boleh disembelih di Tanah Air. "Kalau kurban sunah, sedangkan Dam terkait dengan ibadah yang dilakukan. Dam harus dibayar di Tanah Suci. Jadi, jangan diasosiakan seperti kurban, karena anda melakukan pelanggaran di Tanah Suci," kata Ketua Forum Komunikasi Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH), Abdul Majid, di Mekkah, Selasa. Siaran pers Media Center Haji Depag, mengutip Majid, mengemukakan, alasan bahwa daging hewan Dam tersebut akan lebih berfaedah di Tanah Air juga tidak bisa dibenarkan. "Kalau memang ingin demikian, bisa saja misi haji Indonesia menyampaikan kepada Al-Rajhi Bank, sebagai pihak yang mengelola Dam, bahwa Indonesia membutuhkan daging hewan Dam tersebut," katanya. Dalam konteks itu dia menilai janganlah jemaah melonggarkan hukum yang telah ditetapkan Allah, kata dosen pasca sarjana Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, Jawa Barat itu. Sementara dari Jakarta, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amidhan menyatakan pendapat yang sama. Menurutnya hewan Dam harus disembelih di Tanah Suci. Meski sebagian ada yang menyembelihnya setelah musim haji usai. "Hanya sebagian kecil ulama yang berpendapat Dam boleh disembelih di Tanah Air karena itu di luar sistem haji. Jika kurban memang lebih baik di Tanah Air. Jadi beda antara Dam dan korban," ungkap Amidhan. Sebelumnya Ketua Teknik Urusan Haji (TUH) Indonesia di Arab Saudi, Nur Samad Kamba mengatakan pendapat pribadinya tentang Dam. Menurutnya hewan Dam bisa dan boleh dibayar atau disembelih di Tanah Air. Hal ini mengacu pada tujuan Dam itu sendiri, yakni untuk membantu fakir miskin. "Jika anda datang ke pemotongan hewan di sini, banyak daging yang mubazir. Paling-paling orang mengambil bagian tertentunya, seperti hati, kemudian dagingnya didiamkan begitu saja. Kan akan lebih bermanfaat kalau disembelih di Tanah Air, dagingnya kita bagi-bagikan kepada tetangga atau fakir miskin yang membutuhkan," ungkap Nur Samad.(*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2006