Oleh Bob Widyahartono M.A. *) Jakarta (ANTARA News) - Belakangan ini semakin terungkap kekhawatiran para pelaku dan pengamat ekonomi/bisnis menyangkut ketiadaan gairah sektor riil, termasuk peranan bank dengan fungsi intermediasi mengarungi tahun 2007. Kekhawatiran yang disuarakan agaknya sepertinya "anjing menggonggong, kafilah berlalu". Yang "menggonggong" dibiarkan, sementara itu kafilah menganggap "gonggongan" mengganggu jalannya etika atau kepatutan. Padahal, kalau semua pihak bersedia merenung sambil bermeditasi, maka pasti ketahuan jelas siapa yang berperilaku sebagai pembawa bad governance, yakni dalam berprofesi tanpa mau mengaku ketidak etisan perilaku. Bayangkan, dalam tukar pikiran dengan beberapa pengusaha yang cukup berani berterus terang ada komentar: "... kelemahan daya saing saya terhadap pebisnis asing, karena saya ini terus-terusan diganggu secara bergiliran oleh oknum birokrasi yang merasa memiliki wewenang menafsirkan peraturan dan kebijakan yang ujung-ujungnya menggangu operasi bisnis dengan berbagai bentuk 'pungli', bangga bersenyum simpul setelah berhasil memperoleh porsi dalam 'pungli'-nya. Anehnya, oknum-oknum itu tidak pernah ditegur atasan, dan apalagi tidak ada yang dipecat. Apa sudah tidak ada rasa malu (shame culture)? Kapan kita ini mau maju?..." Ketiadaan, atau katakanlah, lemahnya standar etika profesi dalam setiap terjadinya krisis yang membuka peluang pelaporan yang sangat sederhana atas kinerja keuangan dan kewajiban kredit (limited reporting on financial performance and credit obligations), disertai kelemahan pengawasan oleh auditor independen profesional. Governance didefinisikan sebagai keterkaitan antara suatu organisasi perusahaan dan manajemen, peranan, keterkaitan dan tanggung jawab pada pihak pihak yang terkait langsung maupun tak langsung pada organisasi yang disebut stake holder responsibility. Dalam public governance terbentuk hubungan antara pemerintah, masyarakat madani (civil society), sektor swasta, keluarga dan warga negara secara individual. Dan, hubungan itu sejauh menyangkut penyelenggaraan kepemerintahan atas suatu masyarakat (in sofar as these relations bear on governing a society). Dalam good public governance tersebut tidak lagi pemerintah saja, tetapi warga negara (citizens), masyarakat sipil (civil society) pemantauannya itu. Prinsip intinya (core principles) public governance adalah sama dengan corporate governance, yaitu fokus terhadap kaidah ABC (Attitude, Behavior and Competence) yang harus mewujudkan prinsip pemberdayaan organisasi. Adapun prinsip pemberdayaan organisasi tersebut menyangkut: 1. Sikap berkeadilan (fairness) terhadap masyarakat tanpa mendiskriminasi yang lemah atau kuat dalam pelayanan pada masyarakat; 2. Transparansi yang harus diungkapkan dalam penyajian informasi yang cermat dan tepat waktu mengenai kinerja; 3. Akuntabilitas manajemen dengan menjaga keseimbangan wewenang antara para manajer, dan auditor internal; 4. Tanggung jawab sebagai anggota masyarakat dengan menjunjung tinggi hukum dan berkarya dengan pengakuan adanya kebutuhan tuntutan dan tanggung jawab sosial (ethical social responsiveness). Empat prinsip tersebut logikanya tidak boleh menjadi kendala dalam mewujudkannya. Tragisnya, bagi organisasi di berbagai negara berkembang, termasuk di negeri ini, efektivitas tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, karena prinsip dan mayoritas pelayan masyarakat (public service institutions) justru banyak yang belum menyadari pentingnya governance. Mengoperasikan governance, betapa pun besar atau menengah skalanya, merupakan tantangan tersendiri. Oleh karena, kebanyakan personel di dalam manajemen maupun kesertaannya sangat tertutup/semi tertutup. Akibatnya, prinsip berkeadilan (fairness), transparansi laporan, dan kemauan memberdayakan manajemen kebanyakan masih hanya merupakan kosmetika (window dressing). Bertekad best practices, tuntutannya supremasi hukum, seperti hukum (rule of law) , strategi mewujudkan anti-korupsi, anti-monopoli dengan adanya kesetaraan (level playing fields), tax reforms, dan peningkatan mutu infrastruktur manusia, pengetahuan dan fisik --termasuk teknologi informasi-- merupakan syarat untuk meminimkan kendala. Dalam organisasi bisnis, sama dengan warga negara biasa, perusahaan pun harus menjadi warga negara yang baik (good citizenship) dalam upaya mewujudkan profitabilitas jangka panjang, dan anggota masyarakat yang terhormat dalam jangka panjangnya. Desakan dari luar (eksternal) bisa menggerakkan good corporate governance secara internal. Desakan eksternal dengan makin terbukanya masyarakat dan merebaknya "persaingan total" penyelenggaraan good governance demi kesinambungannya dalam memenuhi kebutuhan pasar secara bermutu dikenal sebagai co-creation of values, makin menjadi tuntutan. Sambil setiap saat berani menatap cermin tanpa melamun, maka maukah kalangan eksekutif publik maupun perusahaan terus memahami dan merealisasi good governance? Atau hanya memahami konsep inti good governance, tapi membiarkan terjadinya praktek bad governance tanpa merasa malu, sebagai terbukti dari banyak penyelewengan/korupsi jabatan? Hal inilah gugat diri yang harus dipertanggungjawabkan kalangan yang mengembang misi good governance kepada masyarakat sebagai stake holders. Kalau tidak punya rasa malu untuk berperilaku bad governance terus menerus, maka saatnya mengundurkan diri dan bermeditasi mulai tahun 2007 ini. (*) *) Bob Widyahartono M.A. (bobwidya@cbn.net.id) adalah pengamat ekonomi/bisnis; Dosen Senior Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanegara (Untar) Jakarta.

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007