Jakarta (ANTARA News) - Direktur Utama Bursa Efek Indonesia Ito Warsito menyatakan penurunan indeks harga saham gabungan (IHSG) BEI masih sejalan dengan arah pergerakan bursa saham global.

"Ini fenomena internasional, yang harus dilihat dari penurunan IHSG BEI yakni apakah searah dengan bursa eksternal atau tidak. Yang kita lihat bursa saham lain juga turun, jadi IHSG masih in line dengan kondisi internasional," ujar Ito Warsito ketika ditemui dalam seminar International Financial Reporting Standards (IFRS) di Jakarta, Selasa.

Ia optimistis IHSG akan kembali bergerak naik menyusul masih kuatnya harapan terhadap perekonomian Indonesia ke depan bahwa pertumbuhan akan mencapai di atas lima persen. Artinya, emiten masih memiliki peluang untuk meningkatkan kinerjanya pada tahun ini.

"Kalau kita lihat prediksi ke depan, pelaku pasar dan pemerintah masih sama-sama percaya bahwa perekonomian Indonesia akan tumbuh di atas lima persen," ucapnya.

Ito mengemukakan bahwa BEI memiliki klasifikasi kondisi darurat dan tindakan yang dilakukan oleh Bursa, penanganan terbagi dalam masing-masing jenis diantaranya kepanikan pasar dalam melakukan transaksi jual dan atau beli sehingga mengakibatkan IHSG mengalami penurunan yang sangat tajam.

"BEI memiliki panduan penanganan terhadap perdagangan saham, salah satunya jika IHSG mengalami penurunan lebih dari 10 persen maka secara otomatis akan terjadi trading halt selama 30 menit," paparnya.

Ia menambahkan jika IHSG tetap mengalami penurunan hingga mencapai lebih dari 15 persen setelah "trading halt" dilakukan, BEI melakukan "trading suspend" sampai akhir sesi perdagangan atau lebih dari satu sesi perdagangan setelah mendapat persetujuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Pada pukul 14.55 WIB, terpantau IHSG BEI bergerak melemah sebesar 130,18 poin atau 2,60 persen ke posisi 4.884,80.

Secara terpisah, Head Research Mandiri Sekuritas John D Rahmat mengemukakan bahwa pihaknya merevisi target IHSG hingga akhir tahun 2015 ke level 4.500 poin dari sebelumnya 5.450 poin.

Ia memaparkan bahwa revisi itu menyusul beberapa alasan, yakni ekonomi yang melambat dari perkirakan, kinerja perusahaan tercatat atau emiten yang tidak sesuai dengan valuasi saat ini, dan faktor global yang membawa risiko penurunan tambahan.

"Banyak ekonom masih mengharapkan ekonomi Indonesia rebound di semester kedua, berkat besarnya pengeluaran pemerintah dan proyek infrastruktur yang akan di mulai. Namun, baik negara maupun pendanaan sektor swasta untuk pembangunan infrastruktur cenderung masih rendah," katanya.

Sementara itu, lanjut dia, daya beli konsumen juga kemungkinan tertekan oleh kenaikan harga minyak, menurunnya pendapatan di sektor perkebunan dan pertambangan serta inflasi yang lebih tinggi. Akan sulit bagi perekonomian untuk tumbuh sebesar 5 persen atau lebih jika kedua faktor ini mengecewakan," katanya.

Pewarta: Zubi Mahrofi
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2015