Jakarta (ANTARA News) - Banyak yang berpendapat mudik bukan lagi soal peristiwa sosial kebudayaan dan relijius, namun lebih dari itu, mudik adalah fenomena ekonomi bagi daerah-daerah tujuan mudik.

Musim mudik yang berlangsung setidaknya satu minggu, dinilai mampu menjadi pengungkit aktivitas perekonomian desa-desa yang akhirnya dapat memakmurkan daerah. Namun, tidak selalu demikian.

Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Gajah Mada Profesor Mudrajad Kuncoro mengingatkan, jika konsumsi saat mudik dikeluarkan untuk membeli barang dan jasa di jaringan usaha asing, manfaat perekonomian mudik tak akan dirasakan desa.

"Misalnya Anda mudik ke Yogya, jangan jajan di restoran franchise luar negeri atau menginap di hotel-hotel milik asing. Nginep aja di hotel miliknya orang Yogya, supaya dana tidak keluar sehingga nantinya multiplier impact dari mudik itu terasa, bukan cuma ajang musiman," kata Mudrajad kepada Antara News di Jakarta, Rabu.

Bak gayung bersambut, kata Mudrajad, pemerintah daerah seharusnya sudah jauh-jauh hari menyiapkan diri menangkap aliran dana yang dibawa pemudik dengan menyediakan infrastruktur yang baik di daerahnya agar pemudik tertarik.

"Bangun tempat-tempat wisata, tempat makan yang baik sehingga ekonomi pedesaan itu menggeliat. Yang jelas saat mudik itu harus disertai nawaitu untuk membangun daerah," kata Mudrajad.

Fenomena mudik pun, kata Mudrajad, bisa dijadikan momen bersedekah dan berinfak.

"Tahun ini jumlah pemudik katakanlah 20 juta orang, kalikan misalnya masing-masing orang Rp100.000 saja menyetor ke ZIS, sudah terkumpul Rp2 triliun. Dana itu masukkan ke badan pengelola zakat, infaq dan sedekah yang resmi. Lalu disalurkan misalnya untuk mendirikan perusahaan penjaminan kredit daerah atau untuk bangun jembatan atau untuk beasiswa anak-anak sekolah."

"Itu akan sangat efektif untuk membangun desa, karena nyatanya masih 40 persen desa tertinggal di seluruh Indonesia, ada sekitar 133 kabupaten kota yang tertinggal di negeri ini," katanya.

Perputaran uang menjelang Lebaran sangatlah besar. Bank Indonesia memproyeksikan kebutuhan uang (outflow) periode Ramadhan dan Idul Fitri 1436H/2015 adalah Rp119,1 - Rp125,2 triliun, naik tipis dibandingkan dengan 2014; Rp124,8 triliun.

Dana tersebar di Pulau Jawa 32 persen, diikuti Jakarta 29 persen, Sumatera 20 persen, Sulawesi-Papua dan Bali Nusa Tenggara 11 persen, serta Kalimantan 8 persen.  

"Dana sebanyak itu akan sayang sekali jika tidak dimanfaatkan untuk pembangunan daerah, jangan jadikan mudik ini cuma sebagai penyumbang kemacetan, tapi seharusnya bisa menjadi dana produktif."

Pewarta: Ida Nurcahyani
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2015