Semarang (ANTARA News) - Pembakaran replika kapal, rumah, dan kertas nama-nama arwah memungkasi perayaan Ulambana di Kelenteng Kong Tik Soe Semarang, Jumat (11/9) malam.

Sembilan bhikku membacakan doa untuk arwah-arwah yang didaftarkan oleh ahli warisnya sebelum kertas bertuliskan nama arwah dimasukkan ke replika kapal yang sudah disiapkan.

Setelah itu, para umat Tri Dharma segera menyulutkan api dari obor ke replika kapal yang sudah disiapkan di depan kelenteng, beserta replika-replika lainnya, termasuk replika perwujudan Dewi Kwan Im.

Menurut koordinator humas Kelenteng Kong Tik Soe, Ulambana merupakan perayaan tanda bakti anak kepada orang tua yang sudah meninggal agar mendapatkan tempat yang lebih baik di nirwana.

"Meski anak sebenarnya tidak mungkin bisa membalas budi orang tuanya, setidaknya bisa mengenang dan mendoakan. Ulambana ini artinya pelimpahan jasa," katanya.

Ia mengatakan inti dari perayaan Ulambana adalah mendoakan kepada orang yang sudah meninggal, sementara untuk prosesinya, seperti pembakaran replika kapal cenderung dipengaruhi kebudayaan masyarakat setempat.

"Pembakaran replika kapal ini merupakan rangkaian perayaan Ulambana dan sudah dilakukan turun temurun sebagai tradisi di kelenteng ini. Jadi, beda tempat bisa beda tradisinya, tapi doanya tetap sama," katanya.

Untuk arwah yang sudah didaftarkan sanak keluarganya untuk didoakan, kata Wigianto, jumlahnya sebanyak 2.604 nama, naik dibandingkan perayaan serupa tahun yang jumlahnya sekitar 2.167 nama.

Ketua Yayasan Kong Tik Soe Wong Aman Gautama menjelaskan rangkaian perayaan Ulambana diawali pada 17 Agustus 2015 dengan sembahyang "Gwee Am Gau" atau pembukaan pintu akhirat.

Pada 28 Agustus 2015, kata dia, dilanjutkan dengan ritual sembahyang "Cit Gwee Phoa" yang tepat diselenggarakan pada tanggal kelima belas bulan ketujuh menurut penanggalan Lunar (bulan).

Setelah itu, kata dia, rangkaian perayaan Ulambana dilanjutkan pada 10-11 September 2015 dengan berbagai sembahyang, seperti "Pang Tjwie Ting", yakni melepaskan pelita di atas air yang mengalir untuk mendoakan arwah-arwah yang wafatnya di air.

"Ada pula sembahyang Fang Shen, yakni melepaskan mahluk hidup, seperti ikan dan burung ke alam bebas. Kami melepaskan ratusan lele dan belut ke Kali Semarang," pungkasnya.

Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2015