kami menemukan banyak dari merek-merek tuna besar ternyata tidak memiliki kendali dalam rantai pasokannya sendiri
Jakarta (ANTARA News) - Greenpeace Indonesia menyatakan industri pengalengan dan penangkapan ikan tuna Indonesia jauh dari penerapan prinsip keberlanjutan dalam mengelola sumber daya perikanan.

"Menelusuri praktik bisnis di perusahaan pengalengan tuna di kedua negara, kami menemukan banyak dari merek-merek tuna besar ternyata tidak memiliki kendali dalam rantai pasokannya sendiri," kata Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia Arifsyah Nasution dalam peluncuran Laporan Peringkat Pengalengan Untuk Indonesia dan Filipina Tahun 2015, di Jakarta, Senin.

Karena itu kata dia Greenpeace tidak dapat menelusuri dengan akurat distribusi tuna dari kapal penangkap ikan ke pengalengan hingga ke konsumen

Ia mengatakan kurangnya pelaksanaan prinsip keberlanjutan, maka pelestarian sumber daya perikanan dan transparansi produk tuna kaleng sulit terwujud. (Baca juga : Konferensi tuna Eropa apresiasi langkah tegas Indonesia )

Terkait Laporan Peringkat Pengalengan Untuk Indonesia dan Filipina Tahun 2015, ia mengatakan Greenpeace Indonesia dan Greenpeace Filipina menilai sebagian besar dari 22 perusahaan pengalengan tuna di kedua negara belum memenuhi tiga kriteria kunci yaitu keterlacakan, keberlanjutan dan kesetaraan.

Hasil tersebut didasarkan pada survei terhadap 13 pengalengan tuna di Indonesia dan sembilan pengalengan tuna di Filipina.

Ia mengatakan keterlacakan berarti perusahaan dan konsumen mampu menelusuri dari mana asal ikan tuna yang digunakan yang dimulai dari awal rantai pasokan.

Kunci dari keterlacakan, menurut dia, mengetahui di mana dan bagaimana tuna ditangkap.

Selanjutnya, terkait kriteria keberlanjutan, perusahaan harus mampu memiliki komitmen untuk menjual tuna yang berkelanjutan melalui suatu kebijakan dengan persyaratan sumber yang bersih untuk menghindari eksploitasi tuna, penangkapan ikan yang merusak dan perusahaan yang tidak bertanggung jawab secara sosial.

Ia menambahkan kriteria kesetaraan berkaitan dengan kondisi di mana perusahaan-perusahaan harus mengetahui siapa nelayan yang menangkap ikan tuna yang diproses mereka dan bagaimana ikan-ikan tersebut diperlakukan.

Perusahaan juga harus berkomitmen untuk memastikan kesejahteraan para pekerja di seluruh rantai pemasokan mereka dan bekerja secara aktif terhadap perbudakan di laut.

Greenpeace mengirimkan kuesioner survei ke 22 perusahaan pengalengan tuna yang tersebar di Filipina dan Indonesia yang difokuskan pada tujuh aspek penting yakni keterlacakan, keberlanjutan, kesetaraan, keabsahan, kebijakan pengadaan, perubahan dan inovasi serta transparansi dan informasi.

Selain itu, Greenpeace Indonesia juga melakukan literatur secara dalam jaringan untuk mengamati ketersediaan informasi pada publik.

Perusahaan pengalengan tuna dinilai dan diperingkatkan berdasarkan partisipasi, kelengkapan dan kedalaman jawaban pada isian survei, reapon terhadap klarifikasi serta ketersediaan informasi mengenai perusahaan dan produk-produknya.

Berdasarkan hasil penilaian survei itu, kinerja terhadap praktik perikanan yang berkelanjutan dikategorikan menjadi baik, cukup dan kurang.

Dari tujuh perusahaan yang berpartisipasi dalam survei, hanya satu perusahaan dalam kategori cukup dan selebihnya enam perusahaan dalam kategori kurang.

Sementara itu, 15 perusahaan lainnya sama sekali tidak merespon imbauan untuk mengikuti survei.

Ia mengatakan tidak terpenuhinya ketiga kriteria itu menjadikan konsumsi tuna sebagai proses yang tidak transparan dan sering dipenuhi dengan praktik penangkapan ikan dan ketenagakerjaan yang tidak bertanggung jawab dan ilegal.

"Mereka kebanyakan rapor merah (kurang), cuma satu yang rapor kuning (kategori cukup)," katanya

Pewarta: Martha Herlinawati Simanjuntak
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2015