Frankfurt (ANTARA News) - Menteri Agama RI Lukman Hakim Saifuddin menyampaikan perlunya mengembangkan "Islam Nusantara" sebagai model keberagaman yang tengah dikembangkan di Indonesia, terkait wacana perdebatan dan pencarian pemahaman, serta menyikapi fenomena perkembangan gerakan radikalisme keagamaan dan kemunculan “Islamophobia”.

Hal itu disampaikan Menag dalam diskusi yang digelar pada seminar dengan tema "Pluralims, Fundamentalism, and Media" pada Frankfurt Book Fair di Frankfurt, Jerman.

Dalam makalahnya yang bertajuk “Pluralism, Radicalism, and Islamophobia”, Menteri Agama  menggaris-bawahi beberapa hal penting. Pertama, isu tentang pluralisme, radikalisme dan Islamophobia yang dikaitkan dengan peran media merupakan isu aktual, relevan, dan sangat penting didiskusikan secara komprehensif, karena relevan dengan kebutuhan masyarakat global dewasa ini. 

Kedua, dalam penggunaan ketiga istilah tersebut, diperlukan tingkat pemahaman, kecermatan dan kehati-hatian yang relatif tinggi, kerena secara konseptual, istilah pluralisme maupun radikalisme memiliki banyak makna, sehingga kekurang-pahaman dan ketidak-cermatan dalam penggunaan kedua istilah tersebut bisa menimbulkan salah tafsir yang mengundang perdebatan dan bahkan bisa menjadi faktor pemicu terjadinya konflik.

Ketiga,  memaknai dan menyikapi “Islamophobia” sebagai wacana sosio-politik dan sosio-doktrinal, hendaknya sangat berhati-hati, karena potensial dapat menimbulkan kerugian terhadap umat Islam (dunia Muslim) khususnya dan masyarakat dunia pada umumnya. Karena bagaimana pun --terlepas dari benar-tidaknya, atau tepat-tidaknya-- kebencian, opini negatif, citra buruk yang terbangun terhadap Islam—sebagai dampak stigmatisasi Islamophobist akan berdampak pada terjadinya situasi konfliktual yang berbahaya terhadap tatanan kehidupan masyarakat dunia umumnya.

Dalam siaran pers Kemenag yang diterima Rabu, disebutkan bahwa Islam Nusantara merupakan model ajaran Islam yang paling tepat diterapkan pada sebuah bangsa yang majemuk.

Islam Nusantara adalah ajaran Islam yang menekankan pada prinsip-prinsip ajaran yang moderat (wasatiyah), inklusif, toleran (saling menghormati, tidak mengklaim hanya agama sendiri yang benar, bersatu dalam keragaman (Bhineka Tunggal Ika/”Unity in Diversity”),  berdasarkan pada UUD 1945, dan ideologi Pancasila dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indoneia—ternyata berhasil mempertahankan keutuhan bangsa Indonesia yang sangat majemuk.

Islam Nusantara berkontribusi sangat signifikan dalam pengelolaan bangsa Indonesia yang sangat majemuk yang berpenduduk lebih dari 250 juta, yang dihuni oleh 700-an suku bangsa, 500-an bahasa, ribuan tradisi budaya, dan 6 agama serta ratusan kepercayaan lokal. Islam Nusantara mampu memosisikan diri sebagai kekuatan agama yang mengintegrasikan dan mempertahankan keutuhan bangsa Indonesia dalam bingkai NKRI. 

Dalam diskusi tersebut Menag menawarkan kepada dunia bahwa sesungguhnya Islam Nusantara bisa dijadikan sebagai model  ber-Islam  “rahmatan lil ‘alamin”. Islam Nusantara  yang dikembangkan oleh Walisongo, bisa dijadikan sebagai perekat tata hubungan antar manusia apa pun latar belakangnya. Islam Nusantara juga bisa menjembatani dialog antara lokalitas dengan globalitas, antara Islam Timur Tengah dengan Islam Nusantara. Islam Nusantara  yang teduh dan damai juga mendamaikan Islam konservatif dan Islam progresif, serta bisa mensintesakan Islam radikal yang penuh antara Islam Islam Timur Tengah yang radikal-problematik dan sarat konflik.

Dalam dialognya, di tengah nara sumber lain, seperti Frans Magnis Suseno, Susane Schrõter, Haidar Bagir, Ulil Abshar Abdalla, dan sekitar kurang lebih 80 orang partisipan termasuk dari Indonesia seperti Dubes RI untuk Jerman, Fauzi Bowo, Dawam Rahardjo, Slamet Rahardjo, Luthfy Syaukani, Menteri Agama berhasil menjawab sejumlah pertanyaan dengan gamblang tentang berbagai persoalan keindonesiaan, seperti perlakuan khusus terhadap Nangroe Aceh Darussalam, kasus Ahmadiyah, Syiah, dan persepsi masyarakat Barat tentang praktek ketidakadilan dalam penegakkan hukum di Indonesia.

Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2015