Beijing (ANTARA News) - "Indonesia itu Bali","Bali berada di Indonesia", sebagian beranggapan Indonesia aman dikunjungi, sebagian lagi mengatakan tidak aman, sebagian besar mengaku tidak tahu.

Demikian salah satu hasil pejajakan pengetahuan orang Tiongkok mengenai Indonesia, yang dilakukan mahasiswi Tiongkok Huang Mengjiao. Perempuan berusia 21 tahun tersebut melakukan survei terhadap 115 responden yang terbagi dalam dua kelompok, warga Tiongkok yang sudah pernah datang ke Indonesia dan yang belum pernah berkunjung.

Kesimpulan survei mahasiswi jurusan Bahasa Indonesia pada Universitas Bahasa Asing Beijing (BFSU) tersebut menyatakan, masih banyak orang Tiongkok yang kurang mengenal Indonesia secara utuh.

Dalam diskusi bertajuk "Indonesia Dari Sisi Pandang Tiongkok", yang diselenggarakan KBRI Beijing dan Perhimpunan Mahasiswa/Pelajar Indonesia Tiongkok (Permit) Beijing bahkan terungkap fakta klasik terkait pandangan orang Tiongkok tentang Indonesia.

Generasi muda Tiongkok, bahkan ada yang mewarisi pengetahuan serta pengalaman psikologis orang tua, kakek neneknya, tentang peristiwa Gerakan 30 September (G30S/PKI) dan peristiwa Mei 1998, dimana akibat peristiwa politik itu, banyak warga keturunan Tionghoa yang eksodus ke Tiongkok, dan beberapa negara.

Diana Hudin, mahasiswi Indonesia yang tengah menempuh pendidikan di Universitas Tsinghua, Beijing, mengatakan pihaknya kerap mendapat pertanyaan dari rekan kuliah dan dosen tentang peristiwa Mei 1998.

"Mereka kerap bertanya tentang kenapa peristiwa Mei 1998 terjadi, mengatakan warga keturunan Tionghoa menjadi korban, amankan Indonesia bagi kami," ungkap Diana yang warga keturunan Tionghoa

Hal senada diungkapkan Gery, mahasiswa Indonesia yang tengah belajar di Universitas Bahasa Asing (BFSU), yang mengatakan, "persepsi Tiongkok tentang Indonesia masih terkait peristiwa 1998, terlebih mereka tidak pernah tahu perkembangan politik terkini Indonesia, khususnya terkait warga keturunan Tionghoa,".

"Jika persepsi atau citra yang kurang bagus masih melekat di masing-masing masyarakat kedua negara, bagaimana hubungan dan kerja sama yang dijalin Indonesia-Tiongkok dapat berjalan maksimal," katanya.

Christine, mahasiswi Indonesia di Universitas Peking menambahkan, "Meski Indonesia dan Tiongkok telah menjadi mitra strategis komprehensif, namun citra dan persepsi kurang baik antara masyarakat kedua pihak, masih belum berubah secara signifikan.





Ramah


Fakta lain tentang Indonesia di mata orang Tiongkok adalah keramahan masyarakatnya. "Selama saya memperdalam Bahasa Indonesia di Universitas Pendidikan Indonesia di Bandung, saya banyak mendapat bantuan dari rekan-rekan di Indonesia, mereka sangat ramah," ungkap Huang Mengjiao, yang memiliki nama Indonesia, Ani.

Ia mengaku sangat tertarik mempelajari Bahasa Indonesia, karena ingin mengetahui Indonesia lebih utuh. "Indonesia adalah negara yang berpengaruh di Asia Tenggara, dan semakin saya mengenal Indonesia, saya semakin suka. Orang-orang-nya cakep dan geulis," ungkap Huang Mengjiao, sambil menggunakan Bahasa Sunda.

Perempuan berkaca mata tersebut juga sangat menggemari kuliner Indonesia. "Saya kangen Indonesia, saya kangen kulinernya. Saya juga kangen menonton idola saya, artis Entis Sutisna alias Sule, yang juga orang Bandung," ungkapnya , disambut tawa peserta diskusi, yang mayoritas mahasiswa dan pelajar Indonesia.

Suka duka tinggal di Indonesia juga diungkapkan Hou Hong Bo, mahasiswa BFSU yang belajar di Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Pria bernama Indonesia Budiman tersebut, mengaku sangat sedih ketika hujan deras melanda Jakarta, karena genangan, dia tidak tahu jika ada saluran air yang terbuka, sehingga dia terperosok di dalamnya.

"Namun, saya beruntung orang Indonesia memang ramah. Saya lalu dibawa ke Rumah Sakit Persahabatan, dan diobati di sana. Saya sangat panik saat itu, karena luka, saya taku kalau tidak cepat-cepat diobati akan infeksi. Tapi beruntung saya bertemu orang-orang yang baik dan ramah," ungkapnya.

Belajar di Indonesia, bagi Hou Hong Bo juga mengakibatkan berat badannya naik hingga 20 kilogram. "Makanan Indonesia enak-enak. Saya suka sekali martabak, siomay Bandung dan mi ayam. Pernah suatu siang, saya pesan ketiganya sebagai menu makan siang. Kini saya menyesal, karena badannya saya makin berisi, tidak menarik untuk cewek-cewek, mereka suka pria langsing," ungkapnya dengan nada santai, penuh canda.

Hou Hong Bo mengungkapkan pertama tahu tentang Indonesia dari dosennya di Beijing. "Beliau mengatakan Indonesia adalah negara besar, dengan segala sumber daya yang melimpah. Negara yang berpengaruh di Asia Tenggara. Kini saya makin mengenal Indonesia, dan Indonesia memang negara besar, potensial untuk menjadi negara maju di masa depan," tuturnya.



Hubungan Antarmasyarakat

Pengetahuan dan persepsi tentang Indonesia dan Tiongkok di mata masing-masing masyarakat kedua bangsa memang tidak dapat dipungkiri. Pembekuan hubungan kedua negara selama dua dekade, makin menegaskan kesenjangan pengetahuan dan persepsi tentang masing-masing pihak.

"Itu memang tidak bisa dipungkiri. Peristiwa politik era 1960-an, peristiwa 1998, tentu menyisakan persepsi, pandangan dan stigma diantara masyarakat kedua bangsa, Indonesia dan Tiongkok. Tak heran, jika meski Indonesia dan Tiongkok telah menjadi mitra strategis komprehensif, pengalaman psikologis yang dialami di masa itu belum bisa diredam, maksimal. Kalau dihilangkan itu sulit. Kita hanya bisa berupaya mengurangi persepsi, dan stigma yang ada," tutur Duta Besar RI untuk Tiongkok merangkap Mongolia Soegeng Rahardjo.

Ia menuturkan terkait itu telah dibentuk Komite Tingkat Tinggi Hubungan Antarmasyarakat Indonesia dan Tiongkok. "Diharapkan komite ini dapat melakukan dialog rutin setiap tahun, untuk memberikan landasan yang kokoh tentang hubungan antarmasyarakat kedua bangsa. Karena hubungan antarmasyarakat kedua bangsa, merupakan salah satu pilar penting untuk memperkokoh hubungan kedua negara," kata Dubes Soegeng.

Sementara itu Wakil Direktur Pusat Kajian Asia Tenggara Departemen Sosial Budaya National Institute of International Strategy (NISS), CASS, Dr Xu Liping mengatakan hubungan antarmasyarakat kedua bangsa dapat dijalin dalam beberapa tingkatan atau tahapan.

"Semisal, kerja sama antarulama Indonesia dan Tiongkok. Indonesia adalah negara dengan jumah muslim terbesar, di Tiongkok terdapat sekitar 20 juta umat muslim. Para ulama dapat menjadi salah satu jembatan, untuk menjalin saling pengertian dan pemahaman antarmasyarakat kedua bangsa," katanya.

Selain itu dapat pula melalui pertukaran pelajar/mahasiswa, generasi muda adalah jembatan yang baik untuk mendukung saling pengertian daan pemahaman masyarakat kedua bangsa. "Kerja sama kebudayaan, pariwisata, juga mendukung hubungan antarmasyarakat kedua bangsa semakin baik. Karena itu perlu dibangun konektivitas yang lebih banyak yang menghubungkan destinasi di Indonesia dan Tiongkok, tidak hanya Bali," tutur Xu Liping.

Ia menambahkan, "kita tentu tidak mau peristiwa politik di masa lalu terulang kembali. Apa yang terjadi pada 1998, Tiongkok memandang itu sebagai persoalan internal politik Indonesia. Namun, tidak dipungkiri memang ada warga keturunan Tionghoa yang menjadi korban, selain warga pribumi Indonesia. Itu pelajaran bagi kita semua,".

Masih banyak potensi serta peluang kerja sama yang dapat dibangun antara Indonesia dan Tiongkok, yang berujung bagi kemakmuran masyarakat kedua bangsa. Seperti halnya pembangunan kereta api cepat Jakarta-Bandung. "Itu mungkin tidak menguntungkan bagi Tiongkok, tapi itu sangat bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia," kata Xu Liping.

Oleh Rini Utami
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2015