Jakarta (ANTARA News) - Menperin Fahmi Idris mengatakan, pasokan gas untuk industri di dalam negeri akan mengalami defisit dalam jangka pendek (2005-2010), sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangan industri yang sudah ada maupun investasi baru. "Selama belum dikembangkan penemuan ladang dan sumur gas baru, maka kita akan mengalami defisit gas," ujar Fahmi di Jakarta, Senin, menanggapi kepastian pasokan gas untuk industri nasional ke depan terkait selesainya perhitungan neraca gas. Ia mengatakan, defisit pasokan gas tersebut akan terjadi pada semua industri di dalam negeri, yang banyak terkonsentrasi di Pulau Jawa. Apalagi, kata dia, selama ini sebagian besar industri di dalam negeri menggunakan gas sebagai bahan bakar. Sedangkan yang menggunakan gas sebagai bahan baku hanya sedikit seperti pupuk, sebagian petrokomia, dan baja. Diakuinya, kondisi defisit gas tersebut akan mengganggu tumbuh kembang industri di dalam negeri, maupun rencana investasi investor baru yang menggunakan gas. "Itu memang tragis sekali, sementara kita mengundang investor masuk, begitu dia memulai kekurangan gas. Itu (defisit gas) salah satu infrastruktur yang dalam jangka panjang bisa merepotkan pertumbuhan dan perkembangan investasi di Indonesia," kata Fahmi. Berdasarkan Rencana Induk (Master Plan) Kebutuhan Gas Bumi untuk Sektor Industri yang diluncurkan Mei 2006, pada 2005 terjadi defisit pasokan gas sebesar 1.362,6 juta kaki kubik per hari (mmscfd). Pada 2010 defisit pasokan gas domestik diperkirakan meningkat menjadi sebesar 1.601,9 mmscfd, dan pada 2015 akan terjadi defisit sebesar 5.281,1 mmscfd. "Karena itu solusinya, Departemen ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) harus mengekspansifkan dan mengintensifkan pencarian sumur-sumur baru," ujarnya. Sayangnya, lanjut Fahmi, ia belum melihat upaya yang lebih besar dari Departemen ESDM untuk melakukan hal tersebut, maupun berunding dengan para pemain gas. Padahal Wapres sudah sudah menginstruksikan peningkatan produksi minyak dan gas sebanyak 30 persen. "Namun itu terpulang pada bagaimana perencanaan dan langkah Departemen ESDM wujudkan hal itu," ujarnya. Impor Menanggapi kemungkinan mengimpor gas, Fahmi mengatakan impor gas sulit dilakukan mengingat harga gas internasional yang tinggi mencapai sekitar 7-8 dolar AS per mmbtu, sedangkan kemampuan industri membeli gas paling tinggi empat dolar AS per mmbtu. "Impor itu sama sekali tidak logis," ujarnya. Menurut dia, yang paling strategis adalah meningkatkan produksi gas di dalam negeri. Sementara itu, Dirut PT Pupuk Sriwijaya (Pusri) Dadang yang merupakan induk perusahaan BUMN pupuk mengatakan akibat defisit gas sampai tahun ini PT Pupuk Iskandar Muda (PIM) tidak bisa produksi optimal, dan pasokan gasnya diambil dari swap PT Pupuk Kalimantan Timur (PKT). Selain itu, pasokan gas untuk PT Petrokimia Gresik juga masih diusahakan, menyusul adanya ledakan pipa gas di Sidoarjo yang menyebabkan pasokan gas semakin tidak maksimal. Sedangkan kemungkinan melakukan impor gas, Dadang mengatakan tergantung harga internasional. "Kalau harga urea per ton sekitar 300 dolar AS per ton, maka (industri pupuk) hanya mampu membayar gas sekitar 3-3,5 dolar AS per mmbtu," katanya. Ia setuju dengan pernyataan Menperin Fahmi Idris yang mengatakan adanya defisit pasokan gas, karena kenyataannya sampai sekarang neraca pasokan lebih kecil dari kebutuhan.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007