Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah harus mengambil langkah drastis demi meningkatkan kemandirian pangan, yakni dengan menempuh lima kebijakan yang meliputi pasokan pangan, diversifikasi pangan, keamanan pangan, kelembagaan dan organisasi pangan "Kita memang mesti menjamin ketersediaan pangan dalam negeri, tapi jangan menggantungkan negara lain (impor). Mumpung situasi begini, pemerintah mesti mengambil langkah drastis meningkatkan kemandirian pangan," kata Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Iwantono Sutrisno, di Jakarta, Rabu. Dalam sidang kabinet masalah pangan di Perum Bulog, Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan pemerintah tidak ingin mengambil risiko sekecil apapun terkait dengan stok pangan nasional, karena menyangkut masalah sosial ekonomi rakyat yang tidak bisa ditawar-tawar. Iwantoro memahami langkah pemerintah yang tidak mengambil risiko terkait stok pangan nasional karena banjir yang terjadi sejak Oktober 2006 hingga Februari 2007 mengakibatkan sekitar 130.115 hektar sawah rusak berat atau puso. Jika ditambah dengan musim kemarau 2007, target produksi beras diprediksi tidak bisa terpenuhi. "Tapi kita jangan mengambil risiko, dengan menggantungkan perut pada orang lain. Karena revolusi bersumber dari perut yang lapar," katanya. Lima langkah Menurut Presiden Koperasi Petani Asia itu, dalam mencapai kemandirian pangan, pemerintah mesti menempuh lima kebijakan pangan tersebut. Kebijakan itu meliputi perlunya ketersediaan pangan dalam jumlah cukup yang bisa terjangkau rakyat. Jangan sampai stok pangan secara nasional cukup, tapi bertumpuk di tempat-tempat tertentu. "Jadi sistem distribusi pangan diatur, sehingga konsumen tidak teriak harga mahal dan produsen teriak harga murah. Karena itu, perlu pembenahan distribusi yang fokus untuk ketahanan pangan," kata bekas Ketua Komite Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) itu. Kebijakan lain yakni perlu diversifikasi pangan karena konsumsi rata-rata orang Indonesia sudah mencapai 130 kg beras/penduduk/tahun jauh lebih tinggi dibanding Jepang yang hanya 60 kg beras per penduduk/tahun. Mengenai keamanan pangan, Iwan mengatakan pangan jangan mengandung zat berbahaya, zat pewarna, atau toksin. Sedangkan terkait masalah kelembagaan, ia mengemukakan perlu dewan yang mengurusi pangan secara khusus, seperti Bimas. "Dulu, rapat pangan dihadiri berbagai macam institusi yang bersama memikirkan ketahanan pangan, mulai Menkeu, Men-PU, Gubernur BI, Gubernur dan Bupati," jelasnya. Namun, setelah Kementerian Pangan diganti setingkat Dirjen Tanaman Pangan, institusinya menjadi lemah, dimana masalah pangan jadi urusan Menteri Pertanian. "Padahal, tidak mungkin meningkatkan produksi pertanian jika irigasi-irigasi pertanian yang rusak tidak diperbaiki Menteri PU," katanya. Kebijakan kelima, keterlibatan institusi masyarakat, terutama KUD yang tidak difungsikan dalam proses ketahanan pangan. "Sekarang, bila harga jatuh, petani tidak ada yang menolong karena tidak bisa membeli. KUD tak bisa membeli, karena tidak punya akses terhadap kredit. Begitu juga kalau petani memerlukan sarana produksi pertanian, pupuk, obat-obatan, mesin-mesin pertanian, tidak ada yang melayani," tambahnya. (*)

Pewarta:
Copyright © ANTARA 2007