Surabaya (ANTARA News)- Banyaknya bencana alam seperti tanah longsor, banjir bandang, hingga kebakaran hutan di Indonesia, merupakan bukti kurang efektifnya peraturan tata kelola lingkungan. Pakar hukum lingkungan Unair yang juga staf khusus Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH), Dr Suparto Wijoyo SH MH, Jumat, di Surabaya mengungkapkan, untuk mewujudkan tujuan itu dibutuhkan dorongan kuat dari semua "stakeholder" (pemangku kepentingan), baik daerah maupun pusat yang manusiawi dan pro lingkungan. Selain itu, pentingnya tekanan politik pada DPR RI dan DPRD untuk melahirkan sebuah regulasi yang ramah lingkungan. Menurut dia, kejadian banjir Jakarta, banjir Madiun, luapan lumpur Lapindo, ledakan Petrokimia Gresik, hingga kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan, merupakan akibat dari buruknya tata kelola lingkungan yang ada. Saat ini, KLH sedang menyusun pandangan umum dan sikap pemerintah mengenai pentingnya pengesahan RUU Pengelolaan Lingkungan Hidup serta RUU Pengelolaan Sampah. Kedua RUU ini, akan memberi implikasi hukum besar bagi kinerja birokrasi sebagai upaya penyelamatan lingkungan sekaligus mewujudkan Indonesia Hijau. Ia mengemukakan, pembuatan perundangan lingkungan yang kuat dan efektif merupakan salah satu cara untuk mengantisipasi kerusakan lingkungan lebih parah yang bisa menimbulkan bencana lebih besar. Hingga kini, masih banyak peraturan lingkungan di daerah yang tidak sinkron dengan peraturan yang lebih tinggi. "Tumpang tindihnya peraturan pengelolaan lingkungan ini, harus segera diselesaikan agar tata kelola lingkungan bisa berjalan baik dan selaras. Tidak ada jalan lain selain melakukan revisi dan itu sudah hampir selesai tinggal ditetapkan saja. Sekali lagi, ini butuh dorongan publik dan politik," ucapnya, menegaskan. Berdasar hasil penelitian Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH) bersama Departemen Keuangan tentang peraturan lingkungan hidup di daerah, diketahui sedikitnya terdapat 60 peraturan daerah (Perda) lingkungan yang tidak harmonis dan cenderung bertentangan dengan undang-undang. Suparto mengungkapkan, sebagaimana dikatakan Asisten Deputi Bidang Pengembangan Peraturan Perundang-undangan dan Perjanjian Internasional KLH, Barlin SH MS, dari sekitar 400 Perda yang diteliti masih banyak ditemukan penyimpangan-penyimpangan dari peraturan diatasnya. Penyelewengan Perda dari undang-undang karena pihak propinsi, kabupaten/kota menyusun Perda dengan harapan mendapatkan pemasukan Pendapatan Asli Daerah (PAD).(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007