Solo (ANTARA News) - Masyarakat Ekonomi ASEAN segera diberlakukan yang berarti bangsa-bangsa Asia Tenggara itu mengalami aliran bebas barang, investasi, jasa, dan tenaga kerja terdidik dari dan ke masing-masing negara.

Persiapan Pemerintah Indonesia salah satunya melakukan pendampingan dan memfasilitasi pelaku industri ekonomi kreatif, dan usaha mikro, kecil, menengah (UMKM) di seluruh daerah kabupaten dan kota, termasuk Solo.

Salah satu perajin ekonomi kreatif, Denok Marty Astuti (27), warga Jalan Dahlia Nomor 28 Purwosari, Laweyan, Solo mengaku usahanya dengan memanfaatkan sejumlah limbah untuk dibuat barang yang memiliki nilai jual tinggi.

"Produknya meskipun dengan bahan baku limbah, tetapi mampu bersaing di pasar dengan produk pabrikan," kata Denok yang juga sebagai inspirator membuat kerajinan ekonomi kreatif bahan baku limbah.

Denok yang baru saja menghadiri pertemuan dengan kalangan pelaku usaha kreatif di Myanmar itu, mengaku tidak khawatir dalam menghadapi MEA karena banyak negara seperti Filipina, Vietnam, dan Myanmar justru tertarik dengan produk-produk kerajinan dari Indonesia.

Namun, katanya, soal harga dan produksi mungkin negara lain lebih murah karena dalam proses produksi, semuanya dikerjakan dengan mesin sehingga lebih efektif, sedang kerajinan dalam negeri masih secara manual.

Denok mengaku produk usaha kreatifnya memanfaatkan sejumlah limbah yang dibuat berbagai produk, seperti tas dari plastik, cedera mata gelang dari kain perca batik, tas dari bekas kaleng yang memiliki nilai jual.

"Saya ide kreatif itu, muncul setelah melihat banyak limbah yang dibuang sayang, dan ternyata dapat dimanfaatkan menjadi barang yang mempunyai nilai jual," kata Denok yang mengaku sering memberikan pelatihan kepada ibu-ibu rumah tangga untuk mencari uang tambahan keluarga.

Ia mencontohkan membuat kerajinan gelang selain dengan bahan baku kain perca, juga memanfaatkan botol plastik bekas air meneral, lem, dan tali pita untuk hiasan agar lebih cantik.

Perajin lain, Winarto (40), asal Sumber Banjarsari, Solo memproduksi suvenir berbentuk ayam bentina dan jantan dengan memanfaatkan bahan limbah bulu ayam.

"Saya menemukan ide kreatif membuat cedera mata ayam jago (jantan) dan betina pertama hanya coba-coba, tetapi ternyata banyak digemari oleh pembeli," katanya.

"Cendera mata ayam buatan saya ternyata seperti aslinya dan terlihat indah. Saya awalnya hanya membuat puluhan biji, ternyata laku laris terjual oleh pengunjung di Sunday Market Solo," katanya.

Harga produknya bervariasi antara Rp30 ribu hingga 35 ribu, sedangkan saat ini, dirinya menerima banyak pesanan, baik dari Solo dan sekitarnya, maupun luar daerah seperti Jakarta.

Selain itu, Winarto juga menekuni kerajinan miniatur patung petani.

"Patung dari karung goni itu, dibuat petani dengan memakai caping, berpakaian tradisional menumbuk padi di alat lesung, mencari kayu, dan sebuah gerobak pedati sebagai kendaraan pengangkut zaman dahulu," kata Winarto.

Pemasaran miniatur patung karung goni buatanya sudah sampai ke mana-mana. Konsumen produk itu datang dari Surabaya, Bandung, Makassar, Yogyakarta, Semarang, dan Bali.

Dia mengatakan para perajin harus berani bersaing di pasar bebas MEA, sedangkan pemerintah daerah memberikan pendampingan kepada kalangan itu.

Christian Haryanto, perajin keranjang buah dari limbah kertas koran asal Desa Keradenan, Serangan, Colomadu, Kabupaten Karanganyar menyatakan kekhawatirannya menghadapi MEA karena perajin yang kebanyakan produksinya masih dengan cara manual akan kalah bersaing dengan produk luar negeri yang kebanyakan sudah menggunakan alat modern.

"Produk luar kebanyakan proses produksinya menggunakan mesin lebih efektif sehingga harga di pasar bisa lebih murah dibanding manual yang membutukan banyak tenaga kerja ongkos mahal," kata Christian.

Permintaan keranjang buah produksinya dua bulan terakhir ini rata-rata mencapai 4.000 buah per bulan atau naik dua kali lipat dibanding hari biasanya.

Menyinggung soal persiapan para perajin ekonomi kreatif dalam menghadapi pasar bebas MEA di dalam negeri, Christian mengatakan banyak usaha mikro, kecil, menengah yang khawatir karena masih kurangnya sosialisasi dari pemerintah daerah.

Namun, soal kualitas barang dalam persaingan pasar dengan produksi luar negeri, pihaknya berani bersaing.

"Tetapi dukungan pemda tetap diharapkan terutama bantuan permodalan dan peralatan yang lebih modern untuk meningkatkan produksi," katanya.

Oleh Bambang Dwi Marwoto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015