Maka, apakah KMP masih relevan?"
Jakarta (ANTARA News) - Tahun 2016 merupakan ujian bagi Koalisi Merah Putih (KMP), kata Sekretaris Harian KMP di DPR RI Fahri Hamzah.

"Sejak awal, cukup banyak yang ragu apakah KMP bisa bertahan lama," katanya dalam pernyataan yang disampaikan kepada pers di Jakarta, Jumat.

Sejak dideklarasikan sebelum Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014, menurut dia, sinisme berkata: "Kalau Prabowo menang KMP bertahan, tapi kalau Prabowo kalah KMP habis".

Ia menimpali, "Alhamdulillah setahun setelah KMP menguasai DPR dan MPR koalisi masih bertahan, tetapi akhir 2015 lalu KMP menunjukkan gejala melemah."

Oleh karena itu, Wakil Ketua DPR RI tersebut menilai, pada 2016 adalah tahun ujian besar bagi KMP karena Partai Amanat Nasional (PAN) sudah jelas mengumumkan bergabung dengan pemerintah, meski menyatakan tetap di KMP.

Sementara itu, Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dalam kasus persidangan ketua DPR di Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) secara bulat mendukung koalisi pemerintah.

"Yang bertahan digaris KMP hanya Golkar, Gerindra dan PPP, sementara pemerintah masih menggantung nasib Golkar dan PPP di Kementerian Hukum dan HAM," kata kader PKS itu.

Ia pun mencatat, "Maka, apakah KMP masih relevan? Publik harus terus diyakinkan bahwa membangun kekuatan penyeimbang di luar pemerintahan adalah jalan demokrasi yang niscaya."

Sebab, dia menilai, jika semua kekuatan politik masuk dalam pemerintahan, maka akan tercipta oligarki kekuasaan yang berbahaya.

Oleh karena itu pula, dikemukakaknya, ikhtiar membangun legislatif yang kuat adalah ikhtiar mulia yang akan memberikan efek keseimbangan dan sistem keseimbangan (check and balance) dalam tubuh organisasi negara.

"Tidak akan ada demokrasi yang sehat jika tradisi legislatif tidak berkembang. Keinginan kelompok KMP untuk membangun parlemen yang modern harusnya didukung karena parlemen modern adalah jaminan bagi daulat rakyat agar pengawasan publik pada pemerintahan bisa berjalan efektif," katanya.

Jika parlemen dibiarkan lemah, ia menilai, maka hegemoni kekuasaan eksekutif akan melahirkan korupsi dan penyimpangan, katanya.

Dalam banyak contoh yang sudah nampak, tapi jarang diapresiasi jelas bahasa kerja DPR dalam pengawasan sangat efektif. Pansus angket, misalnya, yang pernah dipakai dalam berbagai kasus, yakni dulu Century dan sekarang Pelindo II, jelas menunjukkan bahwa korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan eksekutif yang dibungkus rapi dalam kebijakan akhirnya bisa dibongkar.

Ke masa depan, ia mengemukakan, ada kasus Freeport yang sedang diusulkan agar DPR membuat pansus angket. Pansus Freeport akan menjadi metode pembuktian lain yang akan mengungkap bagaimana cara kekuasaan digunakan secara tidak bertanggungjawab.

"Tapi, apakah masyarakat sipil dan media masa akan mendukung? Inilah tantangan DPR 2016 agar media dan masyarakat sipil justru menjadikan DPR sebagai mitra dalam mengawasi pemerintahan," katanya.

Periode 2014-2015, dinilainya, penuh goncangan yang bahkan menyebabkan Ketua DPR justru terjungkal.

"Tetapi, tahun 2016 harus menjadi momentum untuk menjawab tantangan bahwa KMP yang masih menguasai sebagian besar porsi cabang kekuasaan legislatif, terutama DPR RI akan melampaui keraguan untuk menciptakan keseimbangan dalam Trias Politika, agar sistem kendaraan berkarya secara lebih sempurna," catatnya.

Keyakinan awal para pimpinan KMP, dinilainya, harus dikuatkan kembali bahwa membangun kekuatan penyeimbang legislatif adalah sebuah kemuliaan yang sama saja dengan memimpin eksekutif.

"Apalagi, karena Pilpres 2019 akan dimulai lebih awal bersama pemilu legislatif dan popularitas Prabowo saat ini berada jauh lebih tinggi," demikian Fahri Hamzah.

Pewarta: Sri Muryono
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2016