Semarang (ANTARA News) - Pengamat politik dari Center for Strategic and International Studies (CSIS), J. Kristiadi, menilai Indonesia tak cocok menerapkan sistem distrik dalam pemilu, karena bangsa ini terdiri berbagai kelompok, sehingga keterwakilannya tidak hanya mempertimbangkan suatu daerah. "Meski sistem pemerintahannya presidensial, sistem pemilu yang cocok di Indonesia tetap proporsional dengan beberapa modifikasi, seperti aturan baru tentang pembatasan (electoral treshold) yang lebih tinggi pada peserta pemilu," katanya di Semarang, Sabtu. Kristiadi menyampaikan pandangannya dalam seminar yang diadakan Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI) Jateng. Pembicara lain politikus Partai Golkar Ferry Mursyidan Baldan, dan pakar hukum tata negara Undip Semarang, Arief Hidayat, dengan pemandu budayawan yang juga Ketua Dewan Penasihat SOKSI Jateng Prof. Ir. Eko Budihardjo, M.Sc. Kristiadi mengakui memang ada yang menggugat, mengapa sistem pemilu menerapkan proporsional namun pemerintahan presidensial. Menurut dia, di negara mana pun tidak bisa menerapkan secara murni satu sistem, karena implementasinya berkait dengan pilihan-pilihan yang harus diambil dalam membangun pemerintahan dan masyarakat yang demokratis. "Di Amerika Serikat jangan dibayangkan murni presidensial, parlemen masih memilik semacam hak veto dan lainnya. Yang bisa diupayakan hanya mendekati sistem presidensial murni," katanya. Menurut dia, demokrasi mensyaratkan adanya impian sebuah bangsa yang ingin dicapai, yang harus disertai dengan kerja keras dan mau bergelut untuk menyusun aturan main secara detail. Mengenai rencana revisi paket UU Politik yang mencakup revisi UU Partai Politik, UU Susduk, UU Pemilu, dan UU Pilpres-Pilkada, dan UU Ormas, Kristiadi mengingatkan, semuanya harus ada korelasi dan koherensi dengan sistem politik dan pemerintahan yang akan dibangun. Lebih rinci dia mengemukakan, ada beberapa modifikasi dan perubahan di dalamnya, misalnya syarat bisa menjadi peserta pemilu bagi parpol tidak lagi lolos "electoral treshold" dengan peraih dukungan suara tiga persen, tapi harus meraih suara minimal lima persen atau lebih. "Imbalannya (trade off) dari aturan parpol yang ketat untuk tingkat nasional, maka diimbangi dengan diizinkannya berdirinya partai lokal. Ini tidak bisa dihindari," kata lulusan Fisipol UGM Yogyakarta itu. Pada aturan main pilpres, katanya, sejak awal harus sudah ada syarat minimal untuk menjalin koalisi, misalnya dukungan minimal partai-partai untuk mengusung calon 20 persen. "Jadi sejak awal sudah ada koalisi permanen parpol yang mengajukan capres dan cawapres. Kalau mereka menang dalam pilpres, presiden terpilih merekrut orang berkompeten dari parpol-parpol pendukung untuk duduk di kabinet," katanya. Modifikasi lain pada tataran pemilu, katanya, harus ditetapkan prinsip "one man, one vote, one value", artinya calon pemilih yang berada di nomor urut atas tidak otomatis terpilih. Dalam prinsip ini, katanya, siapa yang dapat dukungan suara terbanyak -- meski mereka ada di nomor urut bawah -- dialah terpilih menjadi anggota legislatif. Ferry Mursidan Baldan yang tampil menjadi pembicara pertama mengatakan, tuntutan revisi paket UU Politik tidak terlepas dari adanya partai-partai baru, baik partai baru yang sekarang ada di parlemen atau yang gagal memperoleh kursi di parlemen. "Kalau menurut saya, revisi UU Politik tidak perlu, tapi kami tidak bisa berpikir sendirian seperti ini, karena di luar ada partai-partai baru yang menuntut dilakukannya revisi," katanya. Menurut dia, membangun demokrasi sebenarnya membutuhkan syarat yang bersifat ekonomis, misalnya tingkat pendapatan yang memadai, persentase pengangguran yang di bawah lima persen, dan masyarakatnya memiliki daya beli cukup. "Sekarang, rakyat mencari uang Rp100 ribu saja sulit, namun ketika uang itu didapat, dalam waktu cepat habis untuk memenuhi kebutuhan," katanya. Kehilangan spirit Ketua Depinas SOKSI, Samsul Muarif, sebagai pembicara kunci dalam seminar tersebut mengemukakan, bangsa Indonesia kehilangan spirit ketika merekonstruksi pranata sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang hendak dibangun pada era reformasi. "Badan kita sudah kehilangan roh, spirit untuk melakukan rekonstruksi sehingga kita malah menyalahkan UUD 1945 yang sudah diamendemen empat kali itu," katanya. Menurut dia, pemerintah tidak sulit mengimplementasi sila pertama hingga ketiga Pancasila, namun sila keempat dan kelima menjadi masalah serius yang dihadapi bangsa ini sekarang. Sila keempat Pancasila, katanya, seolah berubah menjadi kerakyatan yang dipimpin oleh kepentingan kekuasaan dalam persaingan bebas sehingga rakyat tidak berdaya. "Mengapa rakyat di tingkat `grassroot` (bawah) tidak menikmati pertumbuhan, padahal saat ini GNP Indonesia sudah kembali seperti awal kejatuhan Orde Baru, yaitu mendekati 1.500 dolar AS," katanya. Ia juga menggugat, bangunan perekonomian sudah meninggalkan asas kekeluargaan (koperasi) karena yang ada persaingan bebas kapitalisme. Mengutip pemikiran tokoh SOKSI Suhardiman, Samsul mengemukakan, kaji ulang amendemen UUD 1945, kembali ke semangat membangun demokrasi Pancasila, dan melakukan reformasi budaya. Samsul sebelumnya melantik kepengurusan SOKSI Depidar X Jateng masa tugas 2006-2011 yang diketuai Soejatno Pedro H.D. dengan Sekretaris Pudjo Rahayu. Jumlah pengurus SOKSI Jateng lebih dari 70 personel. (*)

Copyright © ANTARA 2007