Jakarta (ANTARA News) - Sekjen International Conference of Islamic Scholar (ICIS) KH Hasyim Muzadi menegaskan ICIS selaku organisasi internasional para cendekiawan Muslim tidak melakukan gerakan pemihakan ideologi, termasuk terhadap ideologi Syiah.

"Hubungan ICIS dengan Iran sama sekali bukan berarti hubungan ICIS dengan ideologi Syiah," kata Sekjen ICIS kepada pers di Jakarta, Selasa.

Menurut KH Hasyim, ICIS yang telah menyelenggarakan konferensi sebanyak empat kali mempunyai anggota sebanyak 67 negara termasuk Iran, sehingga Iran hanya merupakan salah satu anggota yang selalu hadir pada kegiatan ICIS.

Ia menjelaskan, ICIS pernah membela Iran terkait proyek nuklirnya dan pandangan ICIS itu didukung Pemerintah Indonesia. ICIS juga menyokong gerakan perlawanan terhadap Israel di perbatasan Lebanon Selatan yang dipimpin Hasan Nashrullah.

Sebagai hasil dari dukungan terhadap proyek nuklir Iran, sekarang embargo Barat terhadap Iran sudah dicabut. ICIS juga memberikan sokongan terhadap perjuangan rakyat Palestina melawan penjajah Israel.

"Saya sendiri sampai saat ini masih menjadi pengurus Rabithah Alam Islami yang berpusat di Mekkah. Saya juga melakukan konsolidasi gerakan moderat Islam Sunni di Kawasan ASEAN, misalnya di Thailand, Malaysia, dan Brunei Darussalam," kata KH Hasyim

Malaysia dan Brunei termasuk negara yang melarang faham Syiah, karena menurut negara-negara itu kalau Syiah besar dan sebanding besarnya dengan Ahlussunnah wal jamaah, dikhawatirkan bisa terjadi konflik di kalangan masyarakat seperti di Timur Tengah.

Pelarangan terhadap pengembangan ideologi atau faham Syiah juga dilakukan oleh Sudan dan beberapa negara di Timur Tengah.

"Saya sendiri tidak pernah bersedia dan menyutujui ajakan Syiah untuk bekerja sama dengan Indonesia dalam bidang pendidikan dan haji, karena hal tersebut akan menjadikan kegoncangan umat Islam Sunni di Indonesia," ujarnya.

KH Hasyim juga menjelaskan kalau dirinya pergi ke Saudi bukan berarti dia berfaham Wahabi. Demikian pula kalau berkunjung ke China bukan berarti menyetujui neokomunisme, dan kalau ke Eropa Barat atau Eropa Timur bukan berarti menyetujui neoliberalisme.

"Begitu juga kalau saya pergi ke Iran bukan berarti saya setuju dengan Syiah, karena tentu saya tidak mungkin menyalahkan atau mencaci maki sahabat Nabi," katanya.

Menurut Sekjen ICIS yang juga anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) itu, apa yang diperjuangkan ICIS di Indonesia dan di dunia Internasional adalah Islam Rahmatan Lil Alamin (Islam rakhmat untuk sekalian alam) dan pengenalan Pancasila.

Pengenalan Pancasila dinilai penting sebagai alternatif ideologi negara yang penduduknya plural agar tidak terjerumus menjadi negara sekuler, dan embrio dari "Islam Rahmatan Lil Alamin" adalah "Ahlussunnah wal jamaah Annahdliyah".

Ia menambahkan, Indonesia harus berjaga-jaga jangan sampai kawasan negeri ini menjadi ring atau ajang pertempuran di antara mereka yang berpaham Wahabi dan Syiah dengan menggunakan warga negara Indonesia," katanya.

Pewarta: Aat Surya Safaat
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016