New York (ANTARA News) - Menyusul keputusan pengadilan banding tentang para tawanan di Teluk Guantanamo yang tidak bisa menggugat penahanan mereka di pengadilan sipil, Pemerintah Amerika Serikat memastikan terus memenjarakan Hambali alias Ridwan Isamuddin, WNI tersangka teroris, untuk waktu tak terbatas. Departemen Pertahanan AS melalui juru bicaranya, Letnan Kolonel Laut Jeffrey Gordon yang dihubungi ANTARA, Kamis, membenarkan bahwa Hambali akan tetap ditahan oleh AS kendati WNI yang ditangkap pada Oktober 2003 itu belum juga dikenai tuntutan. Hambali, kata Gordon, baru akan dikembalikan ke Indonesia jika yang bersangkutan sudah diadili oleh Komisi Militer. Itu pun setelah komisi memastikan apakah ia benar-benar musuh AS yang dinyatakan berbahaya karena menjalankan aksi-aksi terorisme. "Kalau dinyatakan bersalah, Hambali kemungkinan harus menjalani hukuman penjara di Amerika. Kalau tidak, kami akan mengembalikannya kepada Pemerintah Indonesia," kata Gordon dari Gedung Pentagon di Arlington, Virginia. Nasib Hambali memang belum jelas karena pemerintah AS sendiri belum memastikan kapan WNI yang disebut-sebut sebagai pemimpin kelompok teroris Jamaah Islamiyah itu akan diadili oleh Komisi Militer AS. "Tidak tahun ini," kata Gordon ketika ditanya kapan Hambali akan diadili. Menurutnya, ada sekitar 80 tahanan Guantanamo yang harus diadili oleh Komisi Militer dan itu berarti akan membutuhkan waktu bertahun-tahun. Ia mengatakan, untuk tahun ini Komisi kemungkinan hanya dapat mengadili tiga tahanan tersangka teroris, tapi tidak termasuk Hambali. Jeffrey Gordon memastikan Hambali saat ini masih berada di tahanan pangkalan AL AS di Teluk Guantanamo, Kuba. Namun ia tidak memberikan keterangan rinci mengapa hingga kini Pemerintah Indonesia belum diberi akses konsuler kepada Hambali. "Kita tidak membicarakan soal akses. Yang pasti, kami selalu berbagi informasi intelijen dengan negara-negara yang terkait yang membutuhkan. Bagaimanapun harus diwaspadai masih adanya jaringan-jaringan teroris di berbagai negara," tukasnya. Saat ini masih ada setidaknya 435 tahanan dari berbagai negara yang mendekam di penjara Guantanamo yang dijaga super ketat. Pada 20 Februari lalu, pengadilan banding Distrik Columbia memutuskan bahwa para tawanan dari berbagai negara tidak berhak mempertanyakan penahanan mereka di pengadilan sipil Amerika, yang berarti membuka jalan bagi UU Komisi Militer untuk menahan mereka tanpa batas waktu dan tanpa tuntutan. Komisi Militer adalah salah satu mekanisme rancangan pemerintahan Presiden George W Bush untuk memperlakukan tahanan yang diduga terkait dengan kelompok teroris Al-Qaeda UU Komisi Militer itu sendiri disahkan oleh Senat dan Parlemen AS pada akhir September 2006, yang mengizinkan Presiden AS menunjuk siapapun sebagai petempur yang menjadi musuh negaranya. UU itu juga mengatur bahwa para tahanan Guantanamo diadili oleh Komisi Militer, yang berarti mereka memiliki hak sipil terbatas dibandingkan jika mereka diadili di pengadilan biasa. Kecewa Sementara itu, Kepala Badan PBB untuk HAM Louise Arbour di New York menyatakan kekecewaannya terhadap keputusan pengadilan banding AS yang memutuskan untuk tidak memberikan kesempatan bagi para tahanan Guantanamo mengajukan uji materil di pengadilan sipil. "Saya sangat prihatin bahwa kita terus melihat penahanan tanpa adanya pengadilan maupun pengawasan pengadilan yang tidak memadai dan orang-orang menghadapi tuduhan serius tanpa ada mekanisme yang dapat dipercaya untuk memastikan tuduhan itu," kata Arbour kepada para wartawan di Markas Besar PBB. Arbour menganggap keputusan pengadilan banding AS itu bertentangan dengan reputasi Amerika Serikat sebagai penjaga penegakkan hak-hak asasi manusia. (*)

Editor: Anton Santoso
Copyright © ANTARA 2007