Oleh Bob Widyahartono *) Jakarta (ANTARA News) - Masalah kepemimpinan dalam dunia politik dan ekonomi di tahun 2007 agaknya kian mengisyaratkan perlunya peningkatan mutu. Ungkapan ini bukan eufemisme, tapi tuntutan yang riil dari "manusia biasa" (baca: rakyat) yang diwakili oleh kelas menengah hingga elite dalam lingkungan masing-masing. Setiap organisasi pemerintahan dan bisnis di negeri ini, baik di pusat maupun di daerah, selama ini mencuatkan berbagai kekurang-matangan dalam wacana kepemimpinan berstrategi, karena kebanyakan serba tertutup atau menutup tutupi ketidakkompeten yang hasilnya meragu, ketidaktegasan dengan menunda nunda hingga mencuatkan langkanya system nilai diri (no self imposed value system). Teramati sikap tidak tegas, menunda nunda keputusan dan meragu dalam mendelegasikan wewenang dan tanggung jawab. Budaya sebagai perekat yang menyatukan kepemimpinan pemerintahan dan legislatif ke dalam kesatuan yang unik dengan peran sosial, kebiasaan, dan visi bersama (shared vision) yang memungkinkan pekerjaan mengalir secara lebih lancer. Kalau seorang pemimpin itu tumbuh dari kader yang kurang berani kreatif/inovatif tanpa pernah berani mengambil keputusan berisiko, maka yang terjadi proses pengambilan keputusan lebih banyak didasari oleh "sikap menunda nunda dengan meragu tanpa ketegasan waktu, feeling, dan intuisi tanpa bekal informasi yang memadai. Ujung ujungnya dari kelemahan ini adalah setengah matangnya berbagai kebijakan yang esensial. Harus disadari bahwa peranan pemimpin sebagai pemberdaya, motivator, dan akselerator menjadi makin krusial dalam situasi dan kondisi yang serba penuh tantangan karena perubahan perubahan. Seorang pemimpin menempatkan diri dari sukses ke signifikansi (kebermaknaan) Ia mengerjakan berdasarkan tujuan (intentional) dan berdasarkan pengaruh. Keduanya sangat berbeda dengan kekuasaan, manipulator , atau pemaksa karena kedudukan model komando yang tanpa visi jangka panjang yang didalamnya jangka menengah. Pemimpin yang kebiasaan memaksakan pendapat dan kebijakannya, biasanya tidak mau bertanggung jawab atas terjadinya kesalahan keputusannya. Akibatnya, cari kambing hitam, bentuk tim ulang, dan seterusnya. Saat ini dalam kondisi kritikal bentuk tantangan baru, tantangan yang dihadapi dan ditangani oleh pemimpin masa depan. Peran model kepemimpinan yang berlandaskan prinsip, yaitu: merintis, menyelaraskan dan memberdayakan (pathfinding, aligning, dan empowerment) merupakan paradigma yang berbeda dari pola pikir manajemen tradisional apalagi yang otoriter. Pemimpin dihadapkan kejaran waktu (time constraints) yang berarti mengambil keputusan dan berani berintdak sekalipun ada kelemahan dan hambatan. Pemimpin itu berbeda dari manajer. Pemimpin berfokus pada mengerjakan hal yang benar (doing the right things) sedangkan manajer memusatkan perhatikan pada mengerjakan secara funggsional tepat (doing the thing right). Kepemimpinan memastikan bahwa tangga yang kita daki bersandar pada tembok secara tepat . Pada gilirannya manajemen sekalipun melalui pemaksaan mengusahakan agar kita mendaki tangga se efisien dalam arti transaksional fungsional saja demi kepentingan diri egois dan kelompok kecil yang mengelilinginya.dan sifatnya sesaat. Pemimpin berani memunculkan paradigma baru ke permukaan dengan resiko kurang disukai oleh kelompok kecil ‘tukang jegal”. Pemimpin visioner mengindentifikasi asumsi dan motivasi yang melandasi dan memberikan tantangan dengan pertanyaan "apa yang masih bisa dikerjakan?".tanpa banyak “mencari publisitas dan popularitas”. Ia menyediakan waktu untuk berkomunikasi dwi-arah dan berani mengaku kalau opininya ternyata tidak “feasible”. Berani mengaku tanpa embel-embel memarahi publik melalui media elektronik atau media cetak. Kita patut menyadari bahwa sifat pribadi (personality traits) dari pemimpin yang efektif adalah mereka sedikit sekali atau bahkan tidak punya sama sekali niat menonjolkan apa yang disebut "karisma". Mereka tidak banyak menyebut istilah itu apalagi mengaktualkannnya. Seorang pemimpin yang efektif tahu definisi satu-satunya tentang seorang pemimpin adalah seorang yang mempunyai pengikut. Ada yang muncul sebagai pemikir, ada yang muncul koseptor dan penggerak implementasi. Tetapi, pemimpin efektif selalu berani mendelegasikan dengan memberdayakan dalam banyak hal. Seorang yang bercita cita menjadi seorang pemimpin, maka ia harus menjadi manusia yang benar (a real human being). Menjadi manusia yang benar , bukan orang biasa yang mau dipaksa menjadi pengikut . Tanpa memperhatikan perbedaan dalam kepribadian, gaya, kemampuan, maupun minat, setiap pemimpin efektif punya cara kerja yang sama. Mereka tidak mengawali dengan bertanya "Apa yang saya inginkan" tetapi mereka justru mulai bertanya "apa yang perlu dikerjakan demi peningkatan mutu kehidupan rakyat dan bangsa yang dilayani, dengan ketegasan waktu". Pemimpin senantiasa bertanya "apa yang dapat dan harus saya kerjakan untuk membuat adanya perbedaan". Hal ini berkaitan dengan sesuatu yang perlu dikerjakan baik yang sesuai dengan kredibilitas si pemimpin, maupun menentukan cara dimana ia dapat menjadi pemimpin yang efektif, memotivasi, memberdayakan eselon memengah dan menghargai ketepatan waktu, mutu dan tidak selalu terombang ambing dalam ketidakpastian. Seorang pemimpin harus mengenal diri sendiri. Bila tertekan, seorang pemimpin kenal diri perasaan tertekan (depressed) . Sebaliknya, kalau ia bahagia, ia sadar menikmati kebahagiaan . Dari kenal diri, selanjutnya memiliki kesadaran (awareness). Langkah selanjutnya , mengidentifikasi diri dan belajar berpikir ulang untuk berani mengambil keputusan yang bertanggung jawab tanpa mengulur ulur waktu implementasi, tanpa meragu dengan mencari kambing hitam dan bentuk bentuk tim kerja baru dst. Penting sekali untuk setiap kali menyegarkan diri dengan menggugat diri apa yang ada dalam pikiran (what is going through your mind) dan apa yang menjadi kesadaran diri ( self awareness). Menggemukkan organisasi yang menjadi kebiasaan masa lalu harus ditanggalkan, karena kebutuhan efisiensi dan efektifitas pelayanan dengan memanfaatkan teknologi informasi yang berarti merasionalisasi organisasi dengan SDM yang kredibel /beretika dan kompeten. Memberdayakan SDM yang kompeten dan beretika dalam berkarya dalam kebersamaan penciptaan “co-creation of values’ merupakan panggilan. Dan SDM demikian itu diberi apresiasi balas jasa yang sesuai balas jasa yang berlaku dalam pasaran professional. Apa sebagai pemimpin boleh merasa lelah berpikir dan fisik ? Tentu saja, karena itu sebagai manusia (human) yang tahu dan kenal diri, ia menyediakan waktu untuk diri bermeditasi dan kesegaran fisik (olah raga) teratur dalam suasana tenang untuk memperoleh kesegaran agar tidak asal asalan lagi mengambil keputusan kebijakan. (*) *) Bob Widyahartono MA (bobwidya@cbn.net.id), adalah Lektor Kepala di Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanegara (Untar), Jakarta, yang selama ini aktif mengamati masalah ekonomi studi pembangunan, dan studi ekonomi di Asia Timur.

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007