Jakarta (ANTARA News) - Presiden Sudan Omar Hassan Al-Bashir telah datang ke Indonesia baru-baru ini dan menjadi tamu yang diundang Sekretaris Jenderal Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dan Presiden Joko Widodo.

Pemerintah Sudan menggarisbawahi bahwa undangan tersebut merupakan mandat yang harus dilakukan Sekjen OKI dan Presiden Indonesia sebagai kepala negara tuan rumah penyelenggaraan KTT Luar Biasa OKI kepada seluruh anggota sah OKI.

Sebagai tuan rumah KTT Luar Biasa OKI ke-5 tentang Palestina dan Al Quds Al Sharif di Jakarta Convention Center, 6--7 Maret lalu, Indonesia telah mengundang 56 negara anggota OKI, termasuk Sudan dan empat negara peninjau.

Dalam satu pernyataan Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) di Jakarta menyesalkan kehadiran Presiden Bashir dalam KTT itu. AS prihatin karena Bashir masuk dalam daftar penjahat perang Mahkamah Kejahatan Internasional (ICC) yang mengeluarkan surat penangkapan baginya atas tuntutan genosida dan kejahatan lainnya di wilayah barat Darfur, sebuah tuduhan yang dia bantah.

Bashir, 71 tahun, terpilih kembali menjadi Presiden Sudan setelah menang telak dalam pemilu yang diumumkan hasilnya pada bulan April tahun lalu. Tahun ini dia sudah memimpin negara itu selama 33 tahun. Bashir telah memimpin Sudan sejak 1989, saat dia memimpin kudeta militer tidak berdarah yang menggulingkan Perdana Menteri Sadiq al-Mahdi.

Sebelum pemilihan umum kali ini, dia telah memenangi tiga pemilihan presiden berturut-turut. Sudan menghadapi pemberontakan di wilayah Darfur sejak 2003 dan separatisme terpisah di Blue Nile serta Kordofan Selatan sejak berpisah dengan Sudan Selatan pada tahun 2011.

AS telah memberlakukan sanksi-sanksi atas Sudan sejak 1997 dan memasukkan negara Afrika tersebut ke dalam daftar negara yang menaja terorisme.

Pada bulan November 2012, Sudan menyampaikan kembali seruan untuk mengadakan pembicaraan serius mengenai diakhirnya dan dicabutnya Khartoum dari daftar tersebut kendati Presiden AS Barack Obama memperpanjang embargo perdagangan bulan itu.

Pemerintah Sudan telah mendesak AS agar mempertimbangkan kembali sanksi sepihaknya atas Sudan dan memandang bahwa sanksi itu merugikan rakyatnya serta memengaruhi kondisi ekonomi negeri itu.

Berdasarkan informasi yang diterima Antara dari kedubes Sudan di Jakarta, jutaan warga Sudan terkena dampak dari sanksi di sektor keuangan, misalnya. Keluarga-keluarga dan individu-individu Sudan dari bagian utara, selatan, timur, dan barat negara itu tidak dapat menerima langsung aliran "remittance" dari anggota keluarga mereka yang bekerja di luar negeri.

Sudah dapat dibayangkan bagaimana sengsara dan malapetaka yang dihadapi jutaan warga Sudan atas perencanaan keluarga dan anggaran jutaan rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan dasar, seperti makanan, biaya sekolah, dan kesehatan, atau pengeluaran lain yang tak terduga.

Sektor-sektor lain yang terkena dampak sanksi-sanksi AS ialah pertanian, transportasi, kesehatan, serta teknologi komunikasi dan informasi.

Dukungan bagi pencabutan sanksi-sanksi ekonomi atas Sudan juga datang dari Liga Arab yang menyerukan dan berjanji akan mendesak usaha-usaha lagi dengan grup-grup penyedia dana dan organisasi-organisasi internasional untuk mendukung ekonomi Sudan dan membatalkan utang-utang luar negerinya.

Liga itu sebagaimana dikutip Sudan Tribune (11/3) menolak sebuah larangan pembelian atau penyewaan pesawat-pesawat dan suku cadang kepada Sudan dengan menyatakan bahwa larangan tersebut mengancam keselamatan dan keamanan penerbangan sipil.

Sejumlah wartawan Indonesia yang diundang pemerintah Sudan untuk meliputi pemilihan umum pada bulan April 2015 merasa "ketar-ketir" tatkala pulang dari kunjungan di Al-Fashir, Darfur, menumpang sebuah pesawat komersial Sudan Air. "Wah, kita naik pesawat seperti bus tua yang diberi sayap," ujar seorang wartawan kepada empat koleganya setiba di Khartoum.

Isyarat Menuju Normalisasi
Masih banyak tantangan yang menghalangi normalisasi penuh hubungan bilateral Sudan dan Amerika Serikat. Namun, sebuah terobosan dibuat oleh kedua pihak baru-baru ini, ditandai dengan kunjungan Asisten Wakil Menteri AS di Biro Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Tenaga Kerja Steven Feldstein pada hari Minggu (22/2) ke Sudan, tempat dia bertemu dengan Wakil Menteri Luar Negeri Sudan Abdalla Hamad Al-Azraq.

"Pertemuan itu membahas sejumlah masalah keprihatinan bersama dan diwarnai oleh keterbukaan," kata Al-Azraq sebagaimana dikutip kantor berita Sudan, SUNA. Ia mengatakan bahwa dirinya memberi tahu pejabat Amerika tersebut bahwa Sudan senang dengan pencabutan sebagian sanksi AS.

"Saya memberi tahu dia. Kami berharap sisa sanksi sepihak tersebut akan dipertimbangkan kembali sebab semua itu berdampak pada ekonomi dan kondisi politik di negeri ini," katanya.

Sebelum kunjungan Feldstein, Kantor Pemantauan Aset Luar Negeri di Departemen Keuangan Departemen Amerika Serikat (OFAC) mengumumkan telah mengendurkan sanksi AS atas Sudan dengan mengizinkan ekspor perangkat keras dan perangkat lunak komunikasi pribadi, termasuk telepon pintar dan laptop.

Dalam dalam maklumatnya, OFAC pada hari Rabu (9/3) mencabut perusahaan semen Atbara Cement Company Ltd. dari daftar hitam individu-individu dan perusahaan-perusahaan Sudan yang dikenai sanksi-sanksi ekonomi. Atbatra ditambahkan dalam daftar OFAC pada tahun 1999 ketika perusahaan itu dimiliki pemerintah.

Di penghujung 2002, pabrik itu dijual kepada perusahaan Investasi dan Pembangunan Afrika yang berkedudukan di Dubai dan dimiliki tiga pengusaha Arab Sheikh Suleiman bin Abdul Aziz Al-Rajhi, Sheikh Saleh Kamel, dan Sheikh Ibrahim Mandarin. Setahun kemudian, Al-Rajhi yang juga seorang filantropis Saudi menjadi pemilik tunggal perusahaan semen tersebut dan memutuskan untuk mendedikasikan penghasilannya pada kegiatan-kegiatan amal.

Pada bulan April 2011, Washington mencabut sebuah bank swasta Bank of Khartoum dari daftar hitamnya.

Walaupun memandang sanksi-sanksi tersebut tidak adil, sewenang-wenang, dan tidak pada tempatnya, pemerintah Sudan di bawah Presiden Bashir memiliki kewajiban moral untuk tak menyerah dan secara aktif berusaha supaya sanksi-sanksi AS yang membuat malapetaka itu dicabut.

Oleh Mohammad Anthoni
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016