Juba (ANTARA News) - Kondisi ekonomi di Sudan Selatan tampaknya mulai tak terkendali kendati terjadi devaluasi pound Sudan Selatan sebesar 84 persen pada 2015, di bawah sistem kurs mengambang, kata beberapa ahli.

Sejak 2011, negeri itu telah beroperasi di bawah sistem kurs mengambang, tapi meletusnya konflik pada 2013 menghentikan produksi minyaknya, dan mengganggu kestabilan ekonomi makronya.

Meskipun beberapa upaya dilancarkan oleh bank sentral untuk mengendalikan lonjakan harga barang dengan mengucurkan 70 juta dolar AS ke bank komersial, situasi ekonomi tampak tetap tak terkendali sementara harga pangan dan bahan bakar terus melesat.

Menurut Nhial Tiitmamer, Manager Program bagi Sumber Daya Alam, Energi dan Lingkungan Hidup di Sudd Institute --satu organisasi penelitian yang berpusat di Ibu Kota Sudan Selatan, Juba, meskipun diproduksi secara lokal dan ditambah merosotnya harga minyak mentah dunia, harga bahan bakar di Sudan Selatan lebih tinggi dibandingkan dengan harganya di tempat lain di wilayah tersebut.

"Tingginya biaya hidup dan kekurangan yang terus terjadi adalah akibat dari kekurangan uang kontan, pajak tinggi dan bea, tak adanya parbik serta gudang, tuntutan yang meningkat akan minyak untuk memproduksi listrik dan sektor konsumsi, dan tidak efisiennya penggunaan energi," kata Tiitmamer pada pekan lalu.

"Semua faktor ini ditambah parah oleh jurang pemisah pada kerangka kerja kebijakan, peraturan dan kelembagaan, kurangnya pengendalian pasar, dan korupsi. Akibatnya ialah melonjaknya harga bahan bakar, biaya transportasi, berkurangnya produksi, menguatnya susunan masyarakat, dan melambungnya harga kebutuhan pokok," ia menambahkan, sebagaimana dikutip Xinhua.

Menurut laporan pembangunan nasional Program Pembangunan PBB (UNDP), perubahan pasar bursa di Sudan Selatan adalah tantangan utama untuk menata kembali ekonomi pada arah yang positif.

Sudan Selatan mengandalkan ekspor minyak untuk menanggung 98 persen anggarannya, tapi produksi minyak telah merosot sejak konflik merebak, dari lebih 300.000 barel per hari jadi kurang dari 160.000 barel per hari. Kondisi tersebut diperparah oleh kemerosotan harga minyak dunia.

Banyak pengulas berpendapat ekonomi Sudan Selatan tergantung atas pembentukan pemerintah peralihan persatuan nasional melalui kesepakatan perdamaian yang ditandatangani pada Agustus 2015 guna mengakhiri lebih dari 23 bulan konflik.

Kesepakatan perdamaian tersebut mengukuhkan Salva Kiir sebagai Presiden dan mengembalikan pemimpin pemberontak Riek Machar sebagai Wakil I Presiden.

Namun, Machar belum kembali ke Juba, dengan alasan tertundanya pengangkutan 1.370 prajuritnya ke Juba dan kekhawatiran mengenai keselamatannya sendiri.

(Uu.C003)

Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2016