Sehari angkat jerigen terus, ini kepala rasanya mau penyet"
Jakarta (ANTARA News) - "Semua ingin cepat dapat, lempar-lempar ember sampai pecah," Novalinda Harahap (39) mengenang "perang ember" yang terjadi ketika mengantre air bersih di Ketapang, Kelurahan Simare-mare, Sibolga Utara, Kota Sibolga, Sumatera Utara.

Perempuan berkerudung itu adalah salah satu dari warga Sibolga yang tidak punya akses air bersih di rumahnya selama bertahun-tahun.

Sebagai gantinya, Novalinda mau tak mau bolak-balik membawa ember berisi air di atas kepala untuk memenuhi kebutuhan minum, masak hingga mencuci di rumahnya. Begitu seringnya ia mengangkat ember, sampai ada yang mengomentari ketiaknya yang terpaksa sering diperlihatkan.

Satu ember dihargai seribu rupiah. Setiap orang diberi jatah sepuluh ember. Lama mengantre tidak menentu, bisa saja dia harus meluangkan waktu seharian untuk membawa ember-ember berisi air bersih itu.

"Aku harus kerja, jadi ingin buru-buru..." Bukan hanya Novalinda saja yang merasa tidak sabar. Ada yang harus mencari nafkah, ada yang harus mengurus anak kecil serta alasan lain. Percikan-percikan emosi dari itulah yang kerap menimbulkan "perang ember".

Romauli Aritonang (39) kadang rela tidak bekerja demi mendapatkan air. Namun, pengorbanannya tidak selalu setimpal.

"Kadang cuma dapat tiga jerigen saja kalau banyak orang," ujar dia.

Kekecewaan Romauli juga dirasakan Mahmud Tampubolon (56). Pria yang sehari-hari mengantar penumpang dengan becak motor itu tak bisa berbuat apa-apa ketika tenaganya selama setengah hari hanya berbuah kurang dari lima jerigen air.

"Sehari angkat jerigen terus, ini kepala rasanya mau penyet," katanya dengan suara parau.

Selama 45 tahun Mahmud sulit mendapatkan air bersih. Secercah harapan muncul saat perusahaan air minum milik negara (PDAM) Tirta Nauli yang membawa mobil tangki air untuk mengisi hidran umum. Namun, ada kalanya PDAM tidak sanggup melayani kebutuhan warga.

Pria yang dulu sering membatasi mandi sekali sehari itu pun terpaksa pergi ke pancuran air gunung yang berjarak 5 km dari rumahnya.

Mencuci di sungai Para kaum Hawa di Simare-mare mengandalkan air sungai Lobu dan sungai Sarudik untuk mencuci pakaian. Sungai Lobu berjarak sekitar 5 kilometer dari pemukiman, sedangkan sungai Sarudik sekitar 7 kilometer.

Butuh waktu, uang, dan tenaga untuk mencuci di sungai. Romauli membawa baju kotor yang menggunung ke sungai naik becak. Biasanya dia mencuci sekali seminggu untuk menghemat ongkos. Dia merogoh kocek minimal Rp50.000 untuk sekali jalan, belum termasuk uang untuk beli sabun cuci atau biaya makan.

"Kalau cuci bisa habis waktu seharian," akunya.

Senada dengan Romauli, Novalinda juga mengumpulkan dulu baju kotor yang hendak dicuci agar pengeluaran tidak tekor untuk membayar becak.

"Cucian kumasukkan dalam karung," ungkap dia.

Kendala teknis

Menurut Ali Sahid Lubis (86), sesepuh di Ketapang, sejak dulu memang sulit mendapatkan air di sana. Pria yang telah menetap hampir enam dekade di Ketapang itu mengakalinya dengan membangun dua bak besar untuk menampung hujan.

"Saya minta PAM, tapi katanya air tidak bisa naik ke sini," ujar lelaki yang dulu bekerja sebagai buruh itu.

Ketapang terletak di atas permukaan air laut. Ini menjadi kendala teknis bagi operator air bersih untuk mengalirkan air lewat sistem perpipaan. Menggali sumur bukan solusi terbaik karena tanahnya terdiri dari bebatuan.

Kepala Bagian Teknis PDAM Tirta Nauli, Kabul Sumbawa, mengakui masih ada 21 persen warga Sibolga yang belum mendapat pasokan air bersih yang dialirkan lewat pipa.

Kendala ada pada masalah teknis dan administrasi. Mereka tidak bisa memasok air ke tempat yang berada di luar kewenangan administrasi meski secara teknis bisa dipasangi pipa PDAM. Sebaliknya, ada lokasi yang tidak masalah secara administrasi, namun kondisi alamnya sulit ditembus oleh pipa air.

Kabul mengatakan lima tahun silam suplai air yang bisa disalurkan PDAM terbatas. Maka, mereka memprioritaskan pasokan air untuk daerah yang bisa menghasilkan keuntungan terlebih dahulu. Belakangan, pasokan air bertambah sehingga daerah yang jauh pun bisa dialiri. Ditambah lagi ada riset baru seperti meter induk sebagai solusi untuk seperlima warga Sibolga yang tak bisa mengakses pipa air bersih.

Meter Induk Sebuah jawaban untuk dahaga warga Sibolga atas air bersih akhirnya muncul dua tahun lalu. Indonesia Urban Water, Sanitation and Hygiene (IUWASH) bekerjasama dengan PDAM membangun meter induk (master meter) senilai Rp700 juta. Akhirnya air bersih bisa langsung mengalir ke keran di rumah warga.

PDAM bertanggungjawab mengalirkan air hingga ke meter induk. Dari sana, air ditampung ke dalam tangki yang tersambung ke pipa menuju rumah warga.

Warga yang ingin mendapat koneksi air dari meter induk hingga ke rumah membayar biaya investasi pemasangan jaringan pipa sebesar Rp300.000.

Selain menghemat tenaga karena tidak perlu lagi turun ke sungai, biaya kebutuhan air juga bisa ditekan.

Romauli dulu bisa mengeluarkan uang sekitar Rp150.000 untuk beli air dalam sebulan. Setelah ada meter induk, pengeluaran untuk air ada di kisaran Rp25.000. Sementara Novalinda bisa menghemat separuh biaya air.

Kelompok Swadaya Masyarakat Novalinda, Romauli dan Mahmud didapuk menjadi ketua Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) alias pengelola meter induk.

IUWASH melatih mereka untuk menanggapi keluhan, melacak nomor meter, memperbaiki pipa yang rusak, menyimpan catatan dan membuat kartu pembayaran.

Novalinda bertanggungjawab untuk 30 keluarga di Gang Benteng. Romauli mengurus sekitar 40 rumah yang berlangganan meter induk di Gang Pelita. Sedangkan Mahmud jadi perwakilan 58 kepala keluarga di Gang Kerinci.

PDAM akan menagih pembayaran dari ratusan pelanggan melalui perwakilan KSM.

Meski air sudah mengalir lancar, tidak demikian dengan tugas para ketua KSM. Mereka harus berhadapan dengan sebagian pelanggan yang sulit ditagih untuk bayar iuran.

"Dibuatlah komitmen, tiga bulan tidak bayar berturut-turut akan diputus," kata Romauli.

Strateginya sukses. Orang-orang yang membandel akhirnya membayar ketika terancam akan diputus aksesnya. Sejak itu, tidak ada lagi orang yang malas bayar.

"Memang harus dikerasin," dia menyimpulkan.

Replikasi Pembuatan meter induk di Ketapang melahirkan inisiatif dari PDAM dan Bank Sumatera Utara yang menggelontorkan Rp200 juta untuk membangun hal serupa di Gang Rukun Damai, Aek Parombunan, Sibolga Selatan.

Warga Gang Rukun Damai tinggal di daerah yang ketinggiannya mencapai 160 meter. Hanya ada anak-anak tangga dengan ukuran tak beraturan untuk bisa mencapai rumah mereka.

Warga di sana sudah bertahun-tahun tidak mendapat air bersih, jelas Kabul. Dua tangki biru penampung air yang dibangun di perbukitan memudahkan hidup 70 keluarga di Gang Rukun Damai. Cukup buka keran bila butuh air. Dulu, mereka harus bolak-balik ke sumur terdekat.

"Setelah ada PAM, saya tidak ke sumur lagi. Kecuali kalau PAM mati karena pulsa listrik habis," kata Donna Sinaga (43) yang telah menetap di sana selama 18 tahun. Lokasi tangki yang menjulang tinggi dari meter induk membuat mereka bergantung pada listrik agar air bisa mengalir ke atas.

Ada pula yang harus naik mengangkat sendiri ember berisi air melalui puluhan anak tangga. Proses melelahkan itu bisa berlangsung dari pagi hingga petang.

"Kadang sehari bawa 10 ember, sesanggup kita saja," kata Haga Ria (22) yang tinggal seatap bersama dua keluarga lain.

Sekarang, Haga Ria cukup membagi tiga biaya pengeluaran air yang mencapai Rp60.000 per bulan.

Sumur resapan Pemerintah setempat juga berusaha mempertahankan kandungan air di dalam tanah dengan membangun sumur-sumur resapan di Parombunan. Letaknya bervariasi, di sekolah, kawasan pembibitan dan ruang terbuka lainnya. "Ini penting untuk wilayah pesisir, agar saat hujan airnya tidak sia-sia," kata Daud Daniel Hutapea dari Dinas Lingkungan Hidup, Kebersihan dan Pertamanan Kota Sibolga di Madrasah Aliyah Negeri Sibolga.

Daniel mengatakan pada 2015 ada dua belas sumur resapan di Parombunan yang dibangun dengan dana APBD senilai Rp180 juta.

"Parombunan itu terletak di hulu, kalau air bisa ditahan di sini dan ada waktu jeda ke hilir, akan lebih baik," jelasnya. Selain itu, sumur resapan juga dibuat untuk mengimbangi lahan-lahan yang makin banyak dipakai untuk pemukiman.

"Untuk mengembalikan fungsi ekologi," imbuh dia.

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2016