... harus dikaji, harus dimoratorium sementara, disetop dulu...
Borobudur, Jawa Tengah (ANTARA News) - Kementerian Koordinator Maritim dan Sumber Daya menyatakan pelaksanaan mega proyek reklamasi Teluk Jakarta harus dimoratorium demi kepentingan negara yang lebih besar.

"Itu yang harus dikaji, harus dimoratorium sementara, disetop dulu," kata Asisten Deputi Infrastruktur Pelayaran, Perikanan, dan Pariwisata Kemenko Maritim dan Sumber Daya, Rahman Hidayat, di Borobudur, Senin.

Reklamasi Teluk Jakarta yang saat ini menjadi perbincangan publik, kata dia, harus dilakukan terlebih dahulu melalui kajian secara komprehensif, terintegrasi, dan serius.

Penanganan atas masalah Teluk Jakarta, ujarnya, sebaiknya ditarik ke pemerintah pusat, antara lain karena Jakarta sebagai ibu kota negara.

Ia mengatakan penanganan Jakarta sebagai ibu kota negara tidak cukup hanya mengedepankan aturan perundangan tentang otonomi daerah, akan tetapi juga memperhatikan peraturan mengenai ibu kota negara.

"Penanganan masalah Teluk Jakarta ini harus level atas. Presiden bisa menugaskan salah satu menteri atau menkonya untuk mengambil alih," katanya.

Pada kesempatan itu, Hidayat juga mengatakan, secara umum kondisi Teluk Jakarta yang membentang dari Pulau Seribu hingga garis pantai Jakarta sebagai tidak memadai untuk suatu bagian dari ibu kota negara.

"Saya orang teknis terlibat di sana empat tahun. Kondisi hari ini untuk garis pantai Jakarta turun sehingga perlu penanganan segera, tapi anggaran negara terbatas," ujarnya.

Ia menyebut kondisi kurang layak atas Teluk Jakarta sebagai kawasan pesisir ibu kota negara, jika dibandingkan dengan negara-negara lain, antara lain karena kotor, jorok, dan bau tidak sedap.

Oleh karena itu, katanya, penanganan Teluk Jakarta tidak bisa diserahkan hanya kepada salah satu sektor.

"Makanya menurut saya perlu kajian yang serius dan terintegrasi. Tidak bisa diserahkan ke salah satu sektor, harus ada kajian terintegrasi, mendalam, dan serius," katanya. 

Pewarta: M Hari Atmoko
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2016