Jakarta (ANTARA News) - Majelis Eksaminasi Publik atas kasus pembunuhan Munir menuduh Mahkamah Agung (MA) mengabaikan keterkaitan antara surat palsu dengan dakwaan pembunuhan berencana, sehingga berujung pada dibebaskannya Pollycarpus yang sebelumnya berstatus sebagai terdakwa atas kematian Munir. Hal itu diungkapkan Majelis Eksaminasi dalam pembacaan putusan hasil eksaminasi atas proses hukum kasus pembunuhan Munir yang aktivis penegak Hak Asasi Manusia (HAM) di Jakarta, Rabu. "Putusan Mahkamah Agung yang memutus terdakwa Pollycarpus bersalah menggunakan surat palsu dan membebaskannya dari dakwaan pembunuhan berencana adalah putusan yang tidak tepat," kata Ketua Majelis Eksaminasi Dr. Rudy Satriyo Mukantardjo dalam pembacaan hasil eksaminasi. Menurut dia, keputusan itu sangat dangkal karena tidak mengungkap keterkaitan antara penggunaan surat palsu dan dakwaan pembunuhan, padahal penggunaan surat palsu tidak bisa dilihat berdiri sendiri tanpa ada motif yang terkait. Seperti halnya peradilan di tingkat bawahnya, menurut Majelis Eksaminasi, MA juga telah melakukan penghilangan fakta bahwa ada motif lain dari penggunaan surat palsu oleh Pollycarpus. Fakta tersebut, antara lain adalah bukti temuan Tim Pencari Fakta (TPF) tentang hubungan telepon sebanyak lima kali antara nomor telepon Pollycarpus dengan nomor telepon kantor Badan Intelejen Negara (BIN). Selain itu, pengabaian juga terjadi pada fakta hubungan telepon langsung antara Pollycarpus dengan seorang petinggi BIN, Muchdi P.R. Padahal, menurut Majelis Eksaminasi, MA mempunyai kewenangan untuk memeriksa ulang perkara untuk memperjelas duduk perkara. Hal itu dapat terdapat dalam pasal 253 ayat (3) KUHAP, yang menegaskan bahwa MA dapat mendengar sendiri keterangan terdakwa, saksi, atau penuntut umum sesuai dengan apa yang ingin diketahui MA. Sementara itu, salah seorang anggota Majelis Eksaminasi, Firmansyah Arifin, mengatakan bahwa keputusan MA untuk tidak melakukan pengungkapan kebenaran dan kadilan materiil merupakan langkah mundur dalam proses peradilan Indonesia. "Kita amat menyesalkan karena menurut saya ini satu mementum buat MA untuk menunjukkan istitusi peradilan kita masih kredibel," kata Firmansyah. Menurut dia, seharusnya MA bisa bertindak seperti ketika menangani kasus Kedung Ombo dengan tidak hanya memeriksa berkas kasasi atau putusan pengadilan tigkat bawahnya, tetapi juga pihak yang dipandang perlu untuk dimintai keterangan. Penyidikan kasus pembunuhan Munir terhenti sejak Pollycarpus dinyatakan tidak bersalah oleh MA dalam dakwaan pembunuhan berencana tersebut. Pollycarpus hanya dinyatakan bersalah karena telah dengan senganja menggunakan surat tugas palsu dalam penerbangannya ke Singapura. Keputusan itu mengakibatkan pilot maskapai penerbangan Garuda Indonesia itu hanya divonis dua tahun penjara, lebih ringan dari vonis 14 tahun penjara yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi. Menyikapi hal itu, Majelis Eksaminasi yang beranggotakan lima akademisi dan aktivis HAM itu telah melakukan tugasnya sejak Januari 2004. Tiga anggota Majelis yang lain selain Rudy Satriyo Mukantardjo dan Firmansyah Arifin adalah Prof. Soetandyo Wignjosoebroto, Prof. Dr. Komariah Emong Sapadjaja, dan Irianto Subiakto. Dalam proses Eksaminasi kasus pembunuhan Munir, Majelis Eksaminasi telah melakukan sejumlah kegiatan, antara lain pengiriman dan pembacaan berkas, pembuatan legal anotsi, sidang eksaminasi, serta penyusunan hasil eksaminasi. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007