Jakarta (ANTARA News) - Obat penurun panas/demam yang mengandung zat Ibuprofen dan Asam Asetilsalisilat (ASA) tidak aman digunakan untuk pasien yang menderita Demam Berdarah Dengue (DBD), kata praktisi kesehatan, dr. Handrawan Nadesul. Asam Asetilsalisilat dan obat anti-inflamasi non-steroid, seperti Ibuprofen, justru dapat memperburuk perdarahan pada pasien dengan infeksi Dengue, ujarnya di Jakarta, Kamis. "Ini berisiko memperburuk status perdarahan pada pasien DBD, dan bisa menimbulkan sindrom Reye, semacam kelainan pada otak," ujarnya. Sementara itu, dr. Hindra Irawan Satari dari Rumah Sakit Cipto Mangungkusumo (RSCM) Jakarta menjelaskan pula bahwa kedua jenis bahan aktif obat tersebut bersifat asam, sehingga dapat merangsang lambung dan menyebabkan perdarahan lambung. "Meski memang dapat menurunkan panas dengan cepat, namun Ibuprofen juga dapat menyebabkan jumlah trombosit menurun, sehingga tidak dianjurkan penggunaannya pada pasien DBD," katanya. Menurut Handrawan, hal itu mesti diwaspadai mengingat sebagian besar masyarakat menganggap demam, termasuk demam yang merupakan gejala awal DBD, sebagai gangguan kesehatan biasa dan seringkali mengatasinya dengan melakukan pengobatan sendiri atau swamedikasi. "Dan, itu pun seringkali dilakukan dengan mengonsumsi obat bebas yang dipilih secara acak, dengan bekal wawasan ihwal obat yang seadanya pula. Padahal menurut daftar registrasi obat, saat ini terdapat sekitar 24 merek obat penurun panas yang mengandung kedua bahan aktif tersebut," ujarnya. Oleh karena itu, ia menyarankan, masyarakat sebaiknya menggunakan parasetamol dengan dosis sesuai anjuran untuk mengatasi demam. Parasetamol, kata dia, aman untuk mengatasi demam dan penggunaannya telah direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) sejak 1997. Demam sendiri, menurut Hindra, sebenarnya merupakan reaksi alami tubuh untuk menetralisir masuknya benda asing ke dalam tubuh. Menurut dia, demam dengan suhu di atas 38 derajat Celcius dapat diatasi dengan mengonsumsi parasetamol atau dengan kompres hangat, bukan kompres dingin seperti yang umum dilakukan. "Sebab, mekanisme menurunkan suhu tubuh diatur oleh pusat pengatur suhu yang sensitif dengan rangsangan tepi yang berasal dari kulit. Kalau bagian tepi lebih panas maka pusat pengatur suhu tubuh secara otomatis akan menurunkannya," demikian Hindra. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007