Jakarta (ANTARA News) - Kuasa hukum Suciwati, janda aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Munir, menuding maskapai penerbangan Garuda Indonesia telah melanggar konvensi Warsawa, karena tidak memenuhi standar penerbangan. "Kalau pun tidak ada kesengajaan, ini adalah sebuah kelalaian jadi masuk dalam konstruksi pasal 25 konvensi Warsawa dalam hal tanggung jawab yang tidak terbatas," kata salah seorang kuasa hukum Suciwati dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Asfinawati, setelah sidang dengan agenda mendengarkan keterangan ahli di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Kamis. Kelalaian itu, menurut Asfinawati, dapat dilihat dari hasil investigasi internal Garuda yang menyebutkan ketidaktaatan dan kelambanan awak pesawat ketika salah seorang pasiennya sakit. Secara terpisah, Trimoelja D. Surjadi yang juga penasehat hukum Suciwati mengatakan, hasil investigasi internal tertanda 19 Oktober 2004 itu diantaranya menyebutkan bahwa Garuda tidak memiliki fasilitas dan jaringan internasional untuk bantuan medis. Selain itu, menurut dia, tidak ada komunikasi di antara kapten pilot dengan petugas di darat untuk konsultasi medis, serta tidak terjadi diskusi di antara awak pesawat dengan dokter di darat ketika salah seorang penumpang sakit. Melihat fakta tersebut, ahli hukum penerbangan, Fachri Mahmud, yang hadir sebagai ahli dalam persidangan yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim, Andriani Nurdin, itu membenarkan bahwa kelalaian semacam tersebut bertentangan dengan ketentuan pasal 25 Konvensi Warsawa. Kemudian, Fachri juga mengatakan, pemindahan penumpang dengan tiket kelas ekonomi ke kelas bisnis juga diatur dalam pasal 3 Konvensi Warsawa. "Dalam hal ini, penumpang diartikan tetap tidak memiliki tiket bisnis," katanya. Fachri mengatakan, dalam pasal 3 Konvensi Warsawa diatur kecelakaan yang dialami penumpang yang telah dipindah kelas oleh awak pesawat sepenuhnya menjadi tanggung jawab operator penerbangan bersangkutan. Selain itu, menurut dia, pemindahan penumpang oleh seorang awak tanbahan (extra crew) merupakan juga merupakan kesalahan, karena pada dasarnya seorang awak tambahan berstatus sama dengan penumpang biasa. "Seharusnya ada tindakan dari awak lainnya," katanya, menjawab pertanyaan majelis hakim tentang perlunya tindakan terhadap kesalahan prosedur itu. Munir meninggal dalam penerbangan ke Belanda dengan menggunakan pesawat Garuda Indonesia bernomor penerbangan GA-974. Pendiri dan ketua perdana Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) itu terdaftar sebagai penumpang kelas ekonomi, sebelum awak tambahan dari Garuda Indonesia, Pollycarpus Budihari Priyanto, yang kemudian menjadi terdakwa atas kematian Munir, meminta aktivis HAM itu pindah ke kelas bisnis. Suciwati, menggugat secara perdata manajemen Garuda dan sebelas pejabat dan karyawannya, yaitu mantan Direktur Utama PT Garuda, Indra Setiawan, Direktorat Strategi dan Umum, Ramelgia Anwar, Flight Support Officer, Rohainil Aini, Pollycarpus Budihari Priyanto, serta enam awak pesawat GA-974 rute Jakarta-Amsterdam, transit di Singapura, yang ditumpangi Munir pada 6 September 2004. Dalam gugatannya, Suciwati menyatakan, para tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum, karena tidak menjaga keselamatan, keamanan, dan kenyamanan Munir selama penerbangan, yang seharusnya menjadi tanggung jawab penuh para terdakwa. Para tergugat diminta untuk membayar kerugian yang dialami oleh Suciwati senilai Rp14,329 miliar, yang terdiri atas kerugian immateriil senilai Rp9.000.700.400 yang diambil dari nomor penerbangan GA-974, kerugian materiil senilai Rp4,028 miliar, serta jasa pengacara sebesar Rp1,3 miliar. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007