Jakarta (ANTARA News) - Mahkamah Konstitusi (MK) mempertanyakan kedudukan hukum keluarga korban penembakan di Poso, Sulawesi Tengah, untuk mengajukan uji materiil terhadap UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pada sidang panel pemeriksaan pendahuluan di Gedung MK, Jakarta, Jumat, majelis hakim konstitusi yang diketuai Maruarar Siahaan, mempertanyakan posisi pemohon, Rahmat, yang menggantikan kepentingan Yusuf, adik kandungnya yang tewas tertembak oleh aparat kepolisian saat terjadinya baku-tembak di antara kepolisian dan sekelompok warga bersenjata di Poso pada 22 Januari 2007. Hakim konstitusi meminta, agar pemohon yang diwakili oleh Tim Pembela Muslim (TPM) fokus pada kerugian konstitusional yang dialami oleh Rahmat sebagai pemohon, dan bukan pada kerugian yang disebabkan karena kematian Yusuf. Koordinator TPM, Mahendradatta, berargumen bahwa Rahmat dirugikan hak konstitusionalnya, karena keinginan untuk mempraperadilkan kepolisian akibat peristiwa salah tembak itu terhalang oleh berlakunya penjelasan pasal 95 ayat 1 KUHAP. Dalam penjelasan materi permohonan, Mahendra menuturkan, Yusuf adalah masyarakat sipil biasa yang terjebak saat terjadinya pengepungan besar-besaran oleh kepolisian di Kawasan Gebang Rejo, Poso pada 22 Januari 2007. Pasal 95 ayat 1 KUHAP menyebutkan, tersangka, terdakwa, atau terpidana, berhak menuntut ganti rugi kerugian, karena ditangkap, ditahan, dituntut, diadili, atau dikarenakan tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan UU, atau karena kekeliruan menyangkut orang atau hukum yang diterapkan. Sedangkan, menurut dia, penjelasan pasal itu mengatur bahwa yang dimaksud kerugian, karena dilakukan tindakan lain adalah kerugian yang ditimbulkan oleh pemasukan rumah, penggeledahan, dan penyitaan yang tidak sah menurut hukum, termasuk penahanan tanpa alasan, dan penahanan yang lebih lama dari pidana yang dijatuhkan. "Dalam pasal 95 ayat 1 KUHAP dijelaskan bahwa praperadilan dapat diajukan karena kerugian yang dialami akibat penangkapan, penahanan dan tindakan lain. Namun, penjelasan pasal 95 ayat 1 justru mengebiri pasal 95 itu sendiri dengan membatasi definisi tindakan lain itu," tuturnya. Mahendra mendalilkan, penjelasan pasal 95 ayat 1 KUHAP itu tidak memberikan kepastian hukum dan bertentangan dengan pasal 28D UUD 1945. Ia juga beralasan, penghapusan penjelasan pasal 95 ayat 1 itu penting sebagai alat kontrol masyarakat terhadap tindakan kekerasan berlebihan dari aparat kepolisian. Mahendra mengklaim, selain Rahmat, masih banyak pihak lain yang menjadi korban kekerasan pihak kepolisian, yang berkeinginan pembatasan penjelasan pasal 95 ayat 1 KUHAP itu dihapus. Majelis hakim konstitusi memberi nasehat kepada pemohon untuk memperbaiki permohonannya guna diajukan kembali dalam waktu 14 hari. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007