Sebaiknya prioritas untuk upaya penyelamatan KEL dengan mendorong lembaga kelola KEL serta mengawal penyusunan rencana tata ruang dan rencana kerja yang berorientasi penyelamatan KEL dalam Perpres yang akan disusun pemerintah pusat,"
Jakarta (ANTARA News) - Pakar manajemen kawasan konservasi dari Institut Pertanian Bogor Haryanto P Putro menilai masyarakat harus fokus pada pengawalan Peraturan Presiden tentang perencanaan tata ruang dan kerja serta pembentukan lembaga kelola Kawasan Ekosistem Leuseur (KEL).

"Sebaiknya prioritas untuk upaya penyelamatan KEL dengan mendorong lembaga kelola KEL serta mengawal penyusunan rencana tata ruang dan rencana kerja yang berorientasi penyelamatan KEL dalam Perpres yang akan disusun pemerintah pusat," kata Haryanto saat dihubungi di Jakarta, Senin.

Hal tersebut, kata Haryanto, karena tidak ada konflik perundangan ketika KEL tidak masuk dalam RTRW Provinsi karena pemerintah provinsi hanya diberi tugas pembantuan di kawasan tersebut, seperti yang diungkapkan oleh Kementerian Dalam Negeri karena KEL termasuk dalam Kawasan Strategis Nasional (KSN).

"KSN berdasarkan legal decision mempunyai kewenangan basis untuk perencanaan tata ruang dan tata kelola mandiri. KEL sendiri kewenangannya dimiliki Kementerian Agraria dan Tata Ruang," ujarnya.

Meskipun kewenangan dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang, lanjut dia, KEL tidak dapat diubah fungsinya karena akan bertentangan dengan regulasi-regulasi lainnya di mana 90 dari kawasan KEL merupakan kawasan hutan yang terbagi habis menjadi Kesatuan Pengelolaan Hutan yaitu Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP), Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL), dan Taman Nasional (TN).

"Kewenangan pengelolaan KPH sendiri berada di pemerintah provinsi menurut UU Nomor 2 Tahun 2011, hal yang perlu difokuskan yaitu dorongan institusi perajut KEL yang melakukan penyusunan rencana kerja yang berorientasi penyelamatan KEL karena Badan Pengelola KEL sendiri telah dibubarkan oleh gubernur untuk kemudian ditangani oleh KPH," ucapnya.

Terkait dengan adanya pelanggaran fungsi dan peruntukan dalam kawasan ekosistem Leuser, Haryanto menilai masyarakat perlu mengawal rencana-rencana pembangunan dalam skala yang lebih luas misalnya dalam konteks taman nasional terkait dengan rencana pemanfaatan geothermal di zona inti Taman Nasional Gunung Leuseur (TNGL).

"Ini patut jadi perhatian, dalam rencana itu pemanfaatannya perlu dilakukan perubahan zonasi, dari zona inti menjadi zona pemanfaatan. Hal ini menimbulkan pertanyaan kami mengingat pembukaan geothermal pertama kali justru dibuka di dalam TNGL dan tidak dilihat dari kerangka geothermal Aceh secara luas yang memiliki potensi geothermal lainnya. Apakah ada agenda-agenda untuk dorongan perubahan zonasi? Ini perlu dicermati," tuturnya.

Haryanto juga mengatakan penguatan kelembagaan dalam pengelolaan sumber daya alam KEL yang melibatkan masyarakat juga harus dilakukan, walaupun di tingkat manajemen tidak ada masalah dengan terbitnya Qanun Nomor 19 Tahun 2013 tanpa memasukkan KEL dalam RTRW Aceh.

Selain itu, tambahnya, agar tak terjadi penyalahgunaan wewenang, sebaiknya ditingkatkan pengawasannya dan penyelesaian permasalahan pelanggaran tata ruang harus diselesaikan melalui aturan yang mengikat atau dibawa ke ranah pidana.

"Memang harus berhati-hati dalam penetapan regulasi tingkat tapak sepenting kawasan KEL. Tindak pelanggaran dalam konteks lingkungan seperti perizinan di luar fungsi tata ruang maka akan masuk dalam pidana. Saat ini sudah ada kerja sama pihak terkait dengan KPK untuk penanganan tindak kejahatan lingkungan serta Nota Kesepahaman Bersama (NKB) 12 menteri yang akan mempermudah penegakan hukum KEL," ucapnya.

Peraturan Daerah terkait Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Aceh telah menjadi polemik bagi aktivis lingkungan lokal hingga internasional sejak tertuang dalam Qanun Nomor 19 Tahun 2013.

Melalui peraturan tersebut, Gubernur dan DPRD Aceh memutuskan tidak mengakomodasi Kawasan Ekosistem Leuser yang merupakan Kawasan Strategis Nasional (KSN) dalam RTRW Nasional dan RTRW Pulau Sumatera sebagai Kawasan Strategis Provinsi Aceh sampai tahun 2033.

Aturan ini kontan menyulut protes dari kalangan pegiat lingkungan dan masyarakat lokal yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Aceh Menggugat (GERAM) yang menganggap aturan itu tidak berpihak kepada masyarakat.

GERAM berharap Kemendagri menggunakan kewenangannya secara tegas agar pemerintah Aceh kembali pada jalur pembantuan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat karena mulai ada upaya pelegalan secara konstitusi terhadap lahan-lahan yang dibuka secara ilegal dalam KEL dengan melakukan alih fungsi kawasan lindung menjadi status Areal Penggunaan Lain.

Pewarta: Ricky Prayoga
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016