Banda Aceh (ANTARA News) - Air laut pantai timur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang tiba-tiba menjadi merah membuat terpana sekaligus takut masyarakat setempat. Sebagian masyarakat menghubungkan perubahan air laut yang lazimnya berwarna biru dengan mitos (kepercayaan). Mereka mafsirkan ini adalah awal terjadinya bencana baru yang bakal menimpa masyarakat di provinsi ujung paling barat Indonesia. Tidak sedikit pesan singkat yang beredar melalui telepon seluler (ponsel), yang intinya mengabarkan bahwa perubahan itu pertanda bakal terjadi bencana dahsyat di Aceh. Pesan singkat (Short Message Services/SMS) itu menghantui masyarakat. Ada diantaranya yang mencoba menghubungkan kondisi Aceh pasca-tsunami pada 26 Desember 2004 dengan situasi dan kondisi yang sarat berbagai maksiat telah dilakukan masyarakat Aceh. "Sebagai umat Islam tentu yakin bahwa datangnya bencana itu akibat ulah manusia yang banyak berbuat maksiat, sehingga Allah SWT memberi teguran dengan bencana seperti tsunami," kata Nonong, seorang ibu rumah tangga di Banda Aceh. Ia menimpali, "Itu menjadi dasar kesimpulan, kenapa air laut tiba-tiba berubah warna. Tidak menutup kemungkinan Aceh kembali dilanda bencana jika manusia mulai lupa terhadap peringatan dan teguran Allah melalui tsunami." Oleh karena itu, ia berharap, umat Islam di Aceh, agar kembali hidup dalam rambu-rambu tuntunan agama. "Saya teringat ketika sebelum tsunami, burung-burung banyak beterbangan di angkasa Banda Aceh. Rupanya, aktivitas burung yang tidak pernah kita saksikan itu sebagai tanda menjelang tsunami," ujar Nonong. Sementara itu, Ketua Rabithah Thaliban/organisasi santri se-Aceh, Tgk H Faisal M. Ali, meminta muslim Aceh untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT dengan menjauhi perbuatan mungkar, seperti pergaulan bebas, mabuk-mabukan dan perjudian. Perbuatan mungkar lain yang harus dihindari adalah saling bermusuhan, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) baik itu di lembaga pemerintahan atau swasta, perniagaan harus mengedepankan kejujuran dengan tidak berbuat curang dengan harta riba. "Sudah saatnya kita meningkatkan ketaqwaan dan melaksanakan taubat nasuha melalui pengajian, tumbuhkan rasa saling sayang menyayangi sesama umat dan gotong-royong, sesuai ajaran Islam," ujar dia. Faisal menilai, memerahnya laut memang menimbulkan perasaan takut, meski gejala alam bisa dijelaskan secara ilmiah. "Orang yang sering trauma itu karena kadar keimanannya terhadap sang Pencipta (Allah SWT) masih kurang, sehingga hidupnya selalu dibayang-bayangi oleh ketakutan dari perbuatan dosa yang dilakukannya," ujar Tkg Hasbi, tokoh masyarakat Aceh Besar. Lain lagi bagi peneliti, karena mereka mengemukakan, fenomena memerahnya air laut di pesisisr timur Aceh itu justru mengundang rasa ingin tahu. Peneliti menduga memerahnya air laut Aceh berdasarkan hasil penelitian Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedalda) Provinsi NAD menyebutkan terjadinya "blooming" (penyuburan) spesies fitoplankton jenis dinoflagelata, dalam sepekan terakhir. "Dari 14 jenis spesies yang ditemukan dalam penelitian laboratorium, yang paling dominan adalah dinoflagelata yaitu sekitar 91 persen. Dinoflagelata berwarna merah itu yang menyebabkan perubahan warna air laut menjadi kemerahan," kata Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) NAD, Said Mustafa. "Fitoplankton dinoflagelata" dengan jenis "Ceratum Hirandinella" dapat membahayakan seperti menimbulkan pengurangan oksigen, menghasilkan racun "biotoxin" (racun dari makhluk hidup) serta gangguan pernapasan pada ikan. Dari hasil pemeriksaan laboratorium juga ditemukan lima dari 13 parameter mengalami perubahan di atas baku mutu air laut di antaranya salinitas air mengalami penurunan dari normalnya 25 promil-30 promil menjadi 22,8 promil. Kepadatan suspensi menjadi 24.000 dari normal 20 hingga 80. Hal tersebut terjadi akibat interupsi air tawar yang berlebih akibat curah hujan yang tinggi. Parameter lain, yaitu kelarutan oksigen air laut juga mengalami penurunan dari lebih 5 ppm menjadi 0,06 ppm. Sebelumnya diduga perubahan warna laut tersebut karena terjadinya "red tide" akibat blooming (perkembangbiakan secara besar-besaran) "fitoplankton dinoflagelata" yang dipicu penyuburan perairan, pembalikan air akibat perbedaan suhu, pergerakan arus dan interupsi air tawar. Dari kacamata perikanan "blooming" seperti yang terjadi di perairan Aceh tersebut tidak diharapkan, karena dapat mematikan ikan akibat kekurangan oksigen. Namun, para ahli menyatakan cukup aman untuk manusia. Perairan Aceh yang berada di Selat Malaka merupakan perairan yang paling terancam pencemaran, karena kepadatan dan kesuburan muara sungai sebagai penyuplai unsur hara. Dia mengatakan, dari pengalaman sebelumnya di perairan terbatas seperti kolam dan tambak yang sering mengalami perubahan warna air, secara alami warna air akan kembali normal dalam waktu antara 4-5 hari. "Karena, diperairan umum kemungkinan kembali normal akan memakan waktu lebih lama. Ini merupakan fenomena alam biasa," katanya. Kejadian serupa pernah terjadi di Afrika Selatan 1962 yang menyebabkan 100 ton ikan mati. Di Indonesia terjadi di Tabanan Bali sebanyak empat kali pada 1994, 1998 dan 2003, serta Teluk Jakarta pada Mei 2004. Terlepas dari hasil penelitian dan mitos yang berkembang di masyarakat terkait memerahnya air laut diperairan pantai timur Aceh, umat Islam di bumi "Serambi Mekah" hendaknya lebih memaknai sebagai tanda kekuasaan Allah SWT. (*)

Oleh Oleh Azhari
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007