Jakarta (ANTARA News) - Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menegaskan, negara mengalami kerugian akibat penyelewengan dana oleh Badan Pengelola Tabungan Wajib Perumahan Prajurit Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD). Hal itu dikatakan Sumitro dari BPKP yang dihadirkan sebagai saksi ahli dalam sidang kasus korupsi BPTWP TNI AD senilai Rp100 miliar yang digelar di PN Jakarta Selatan, Rabu. Ia menjelaskan, gaji yang diterima prajurit menjadi kekayaan individu, namun saat itu dikumpulkan dalam suatu badan penyelenggara tabungan perumahan prajurit. Uang itu menjadi lingkung kekayaan negara, di mana negara bertanggung jawab terhadap penggunaan atau rencana pemakaian dana tersebut bagi orang banyak. Secara tanggung jawab keuangan, katanya, BPTWP masuk dalam lingkup kekayaan negara dalam hal ini sebagai sistem di bawah kewenangan Kepala Staf TNI AD. "BPTWP dinilai sebagai suatu yayasan yang dibentuk oleh TNI AD yang oleh KASAD difungsikan untuk membantu pengadaan rumah prajurit TNI AD," kata Sumitro. Sumitro yang melakukan audit dalam kasus tersebut menilai pencairan deposito BPTWP senilai Rp100 miliar oleh kepala BPTWP Kolonel (Czi) Ngadimin (terdakwa I) untuk kemudian dipecah dalam dua deposito masing-masing atas nama pribadi Ngadimin dan pihak ketiga Samuel Kristanto (pemilik yayasan Mahanaim, terdakwa II) sebagai penyimpangan. "Kepala BPTWP telah melakukan penyimpangan dalam pencairan deposito yang dilakukan untuk referensi bank terkait penjaminan bantuan luar negeri. Seharusnya, kepala BPTWP tetap menyimpan dana tersebut dan bila jatuh tempo maka dana dicairkan untuk dikembalikan ke Direktur Keuangan selaku bendahara TNI AD," katanya. Penyimpangan Kepala BPTWP dari kewenangan dalam surat keputusan dan nota dinas KASAD itu juga terlihat dari tidak adanya ijin Kepala Staf TNI AD dalam pencairan deposito serta pemindahan ke nama pribadi Ngadimin. "Saat terjadi pencairan dan pemindahan deposito menjadi deposito pribadi itulah terjadi kerugian negara," katanya. Sebelumnya, Dana BPTWP sebesar Rp100 miliar didepositokan dalam jangka waktu 12 bulan atas nama Ngadimin dan Samuel di Bank Mandiri cabang Panglima Polim Jakarta Selatan pada Oktober 2004. Satu bulan kemudian keduanya mengajukan permohonan kredit cash colateral sebesar Rp92,5 miliar dengan jaminan deposito tersebut. Dimana hal tersebut dilakukan tanpa ada laporan Ngadimin dan Samuel pada KASAD. Kemudian dana deposito Rp100 miliar yang belum jauh tempo dicairkan oleh Ngadimin dan Samuel untuk menutupi kredit Rp93 miliar tanpa laporan ke Kasad saat itu. Dirinci lebih jauh penyelewengan dana itu dilakukan untuk pembelian surat berharga (Oil Bond) senilai Rp42,8 miliar milik pengusaha asal Bandung Dedi Budiman Darna (terdakwa III), dilakukan tanpa laporan ke KASAD. Ketiga terdakwa yaitu Kol (Czi) Ngadimin (53), Samuel Kristanto (35) dan Dedi Budiman Darna (53) diancam pidana 20 tahun penjara atas dugaan perbuatan korupsi. Majelis hakim koneksitas yang diketuai Sudarmadji menunda sidang hingga Senin (9/4) pekan depan dengan agenda pemeriksaan saksi meringankan dari terdakwa. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007