Jakarta (ANTARA News) - Direktur Utama PT Basuki Rahmanta, Marudut Pakpahan yang merupakan perantara upaya pemberian suap kepada Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta Sudung Situmorang dan Asisten Tindak Pidana Khusus Kejati DKI Jakarta Tomo Sitepu divonis 3 tahun penjara dan denda Rp100 juta subsider 3 bulan kurungan.

"Menyatakan terdakwa Marudut terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah secara bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana didakwakan dalam dakwaan pertama. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Marudut penjara selama 3 tahun dan denda Rp100 juta dengan ketentuan bila terdakwa tidak dapat membayar denda maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan," kata ketua majelis hakim Yohanes Priyana dalam sidang pembacaan putusan di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jumat.

Meski jumlah hukuman pidana terhadap keduanya lebih rendah dari tuntutan jaksa yang meminta agar Sudi divonis 4 tahun penjara, denda Rp200 juta subsider 6 bulan kurungan, namun hakim dalam amar putusannya menyatakan Sudi dan Dandung sudah selesai menjanjikan sesuatu kepada Kajati DKI Jakarta Sudung Situmorang dan Aspidsus Kejati DKI Jakarta Tomo Sitepu berdasarkan dakwaan kesatu yaitu pasal 5 ayat 1 huruf a UU No 31 tahun 1999 sebagaiamana telah diubah dengan UU No 20 tahun 2001 jo pasal 55 ayat 1 KUHP.

Padahal jaksa penuntut umum (JPU) KPK "hanya" menuntut Sudi dan Dandung berdasarkan dakwaan kedua yaitu pasal 5 ayat 1 huruf a UU No 31 tahun 1999 sebagaiamana telah diubah dengan UU No 20 tahun 2001 jo pasal 53 ayat 1 jo pasal 55 ayat 1 KUHP mengenai "perbuatan pidana memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara tapi belum selesai karena baru ada permulaan pelaksanaan dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri".

Perkara ini diawali dengan adanya penyelidikan dugaan tindak pidana korupsi penyimpangan penggunaan keuangan PT Brantas Abipraya yang dinilai merugikan keuangan negara senilai Rp7,028 miliar. Namun dalam surat permintaan keterangan, disebutkan Sudi sebagai orang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi sehingga Sudi memahami dirinya sudah menjadi tersangka.

Sudi pun meminta tolong kepada Dandung dan selanjutnya Dandung menghubungi Marudut Pakpahan yaitu Direktur Utama PT Basuki Rahmanta yang diketahui punya banyak teman di kejaksaan untuk menghentikan penyidikan kasus tersebut.

Menindaklanjuti permintaan Dandung, pada 23 Maret 2016, Marudut menemui Sudung Situmorang dan Tomo Sitemu di kantor Kejati DKI Jakarta. Dalam pertemuan itu Marudut menyampaikan ke Sudung bahwa temannya didzalimi dan sedang dilakukan pemeriksaan oleh tim penyidik pada Kejati DKI Jakarta. Atas pemberitahuan Sudung meminta Marudut berbicara dengan Tomo untuk tindakan selanjutnya.

"Terdakwa melibatkan diri karena laporan Dandung dan bersedia mengurus perkara itu ke Kejati karena dekat dengan Sudung selaku Kajati DKI Jakarta dan sudah berupaya menghadap Sudung dan setelah menghadap Sudung bertemu dengan Tomo Sitepu. Saat bertemu Tomo timbul persepsi untuk mengurus perkara butuh dana dan selanjutnya muncul angka Rp2,5 miliar yang dilaporkan ke Dandung. Marudut memberikan tenggat waktu hingga 31 Maret kepada Dandung dan pada 31 Maret Marudut menerima uang dari dandung sejumlah 148.835 dolar AS yang dibungkus plastik hitam," tambah hakim Yohanes.

Selanjutnya uang itu rencananya akan diberikan kepada Sudung dengan Marudut menghubungi Sudung untuk menanyakan apakah ada di kantor dan dijawab dengan "yes" tapi karena Sudung tidak dapat ditelepon maka Marudut pun menghubungi Tomo.

Meski Marudut dalam persidangan mencabut Berita Acara Pemeriksaan (BAP) mengenai hal tersebut dan menyatakan bahwa uang itu akan dibawa ke kantornya lebih dulu dan menunggu konfirmasi kalau perkara dihentikan maka uang diserahkan tapi kalau dilanjutkan maka uangn akan dikembalikan kepada PT Brantas.

"KUHAP hanya hanya memberikan kebebasan untuk menyampaikan kebenaran bukan kebebasan menyampaikan kebohongan. Pencabutan keterangan terdakwa di penyidik padahal di persidangan terdakwa mengatakan saat diperiksa bebas dari paksaan maka tidak menemukan dasar hukum yang kuat mengenai pencabutan BAP yang dihadapan penyidik sehingga BAP itu dinyatakan benar dan keterangan terdakwa di persidangan harus dikesampingkan," tambah Yohanes.

Hakim pun menilai bahwa sikap, tempat penerimaan dan tidak diterimanya uang dan ditangkapnya Marudut bukan elemen yang menentukan Marudut tidak memberikan suap.

"Apakah pemberian sudah diterima atau tidak diterimanya tidak menentukan niat untuk memberikan uang tersbut atau bila menitipkan ke staf yang bersangkutan atau belum diterimanya bukan penghalan niat tersebut sehingga uang itu sudah dalam penguasaan terdakwa bukan hal yang meniadakan niat terdakwa untuk memberikan uang tersebut sehingga menurut majelis perbuatan sudah dipandang memberikan melakukan perbuatan memberikan," ungkap hakim Yohanes.

Namun putusan itu tidak bulat karena ada dua hakim anggota yang mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion) karena sependapat dengan jaksa yaitu perbuatan suap belum selesai sesuai dengan dakwaan kedua.

"Tidak terdapat kesepakatan atau meeting of mind antara Marudut dengan Tomo dan Sudung mengenai akan dilakukannya pemberian dan penyerahan uang dari Dandung dan Sudi melalui terdakwa kepada Sudung dan Tomo dengan maksud Sudung dan Tomo menghentikan penyidikan. Niat untuk melakukan penyerahan berawal dari inisiatif terdakwa setelah bertemu dengan Sudung dan Tomo yang Tomo mengatakan makanya tanya seperti apa bantuannya selanjtunya terjadi kesepakatan antara Marudut dan Sudi dan Dandung memberikan 186.035 dolar AS atau setara Rp2,5 miliar kepada Tomo dan Sudung guna menghentikan menyelidikan PT Brantas yang menurut para terdakwa sudah dalam tahap penyidikan," tambah hakim Casmaya.

Sehingga adanya pertemuan dan percakapan Marudut antara Sudung dan Tomo belum bisa dikatakan perbuatan memberi atau menjajikan sesuatu tapi permulaan peaksanaan memberi 186.035 dolar dolar AS kepada Sudung dan Tomo.

"Demikian pula terdakwa 2 menyerhakan uang 148.835 dolar AS percakapan Marudut dengan para saksi belum bisa dikatakan perbuatan memberi atau menjanikan sesuau untuk memberikan 186.035 dolar AS kepada Sudung dan Tomo sehingga menyerahkan uang 148.835 dolar AS kepada terdakwa untuk disampaikan ke Sudung dan Tomo merupakan bentuk awal pelaksaan dan sebelum sampai di Kajati DKI Marudut ditangkap KPK, hakim anggota 1 sependapat penuntut umum KPK bahwa dakwaan yang dipilih adalah alternatif kedua," tambah hakim Casmaya.

Sedangkan hakim anggota 2 yaitu hakim Eddy Soeprayitno juga menyatakan perbedaan pendapat karena menilai perbuatan Sudi dan Dandung hanyalah niat permulaan pelaksanaan dan belum selesai karena faktor yang berasal dari luar dirinya.

"Fakta di persidangan ada tiga pihak yaitu Sudi Wantoko dan Dandung Pamularno yang menyedikan uang dari PT Brantas, Marudut sebagai perantara dan Kajati DKI Jakarta Sudung Situmorang dan Aspidsus Kejati DKI Jakarta yang berperan sebagai penyelengara negara yang punya kewenangan menyidik dan menghentikan perkara dugaan tindak pidana korupsi. Dari persidangan tampak niat yang sama dari para terdakwa untuk melaksanakan suap sudah ada yaitu meminta bantuan kepada Kajati dan Aspidus DKI Jakarta untuk menghentikan penyidikan dalam perkara tersangka Sudi Wantoko dan permulaan pelaksaan niat dari para terdakwa untuk menyuap kepada Kajati DKI Jakarta dan Aspidsus pun sudah ada dengan diserahkannya uang dari Dandung kepada Marudut tetapi tidak selesainya pelaksanaan itu yaitu tidak selesainya penyerahan uang dari Marudut ke Sudung dan Tomo bukan dari kehendak para terdakwa tapi karena Marudut ditangkap petugas KPK jadi belum selesainya pemberian uang bukan kehendak para terdakwa sehingga dengan demikian kami sependapat dengan pertimbangan JPU KPK bahwa dakwaan yang terbukti adalah alternatif kedua," kata hakim Eddy.

Atas putusan itu, Marudut menerima putusan, sedangkan jaksa penuntut umum menyatakan pikir-pikir. Terkait perkara ini, Sudi sudah divonis 3 tahun penjara dan denda Rp150 juta subsider 3 bulan kurungan sedangkan Dandung divonis 2,5 tahun penjara dan denda Rp100 juta subisder 2 tahun kurungan.*

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016