Jakarta, 1/9 (Antara) - Setiap penduduk, warga negara Indonesia atau warga negara asing yang memiliki izin tinggal tetap dan telah berusia 17 tahun atau telah/pernah menikah, wajib memiliki kartu tanda penduduk (KTP) sebagai identitas resmi.

Sebagaimana disebutkan dalam UU Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, KTP elektronik merupakan KTP yang dilengkapi dengan "chip" yang merupakan identitas resmi penduduk sebagai bukti diri yang diterbitkan oleh instansi pelaksana, yakni kecamatan sebagai perangkat pemerintah kabupaten/kota yang bertanggung jawab dan berwenang melaksanakan pelayanan dalam urusan administrasi kependudukan.

Penduduk yang telah memiliki KTP elektronik wajib membawanya pada setiap bepergian. Setiap penduduk hanya memiliki satu KTP elektronik.

Namun, ternyata belum semua penduduk yang telah berstatus wajib memiliki KTP itu, mempunyai KTP, bahkan mereka pun belum mengurus proses administrasi kepemilikannya.

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyebut terdapat sekitar 22 juta penduduk, baik di pedesaan maupun di perkotaan, belum melakukan perekaman data kependudukan secara elektronik, sebagai proses memiliki KTP elektronik.

Pemerintah memberikan batas waktu hingga 30 September 2016 untuk melakukan perekaman data dirinya agar segera resmi memiliki identitas.

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menerbitkan Surat Edaran Nomor 471/1768/SJ tertanggal 12 Mei 2016 perihal Percepatan Penerbitan KTP Elektronik dan Akta Kelahiran, yang ditujukan kepada gubernur dan bupati/wali kota.

Dari surat edaran yang mengacu pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan itu, Mendagri menghendaki Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil menerapkan pola jemput bola perekaman data kependudukan di pusat-pusat keramaian, terutama di desa dan pulau terpencil.

Pemerintah bahkan menargetkan pada 2017 seluruh penduduk Indonesia sudah memiliki e-KTP yang ditujukan salah satunya untuk penerapan pengambilan suara secara elektronik (e-voting) saat penyelenggaraan pemilihan umum.

Maka tak mengherankan bahwa salah satu kegiatan serupa yang dilakukan oleh banyak orang di berbagai daerah saat ini adalah antre di kantor-kantor kecamatan untuk melakukan perekaman data bagi kepemilikan kartu tanda penduduk (KTP) elektronik.

Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Bekasi, Jawa Barat, misalnya, bahkan memberlakukan sistem jemput bola dengan membuka pelayanan perekaman KTP elektronik hingga ke kantor kelurahan, sebagai antisipasi membeludaknya animo warga yang ingin merekam datanya sebelum batas akhir masa perekaman per 30 September 2016.

Sejak 22 Agustus lalu, petugas menyusun jadwal waktu perekaman di kelurahan yang waktu operasionalnya bahkan hingga malam hari pada setiap hari hingga akhir pekan. Penetapan jadwal tersebut dilakukan karena kesiapan alat perekaman yang ada sangat terbatas.

Sementara petugas dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Merauke, Papua, mendatangi warga di berbagai distrik hingga ke pedalaman, mengingat masyarakat pedalaman ada yang masih enggan membuat e-KTP. Kalau menunggu warga datang ke kantor Dinas, pasti lama karena distrik-distrik di Merauke berjauhan sehingga petugas mendatangi warga, serta membawa peralatan seperti genset, komputer, kamera dan langsung lakukan perekaman di tempat.

Di Papua baru 20 persen dari 2,9 juta jiwa penduduk wajib KTP yang tersebar di 29 kabupaten/kota yang melakukan perekaman data bagi KTP elektronik.Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Kependudukan (Disnakerduk) Provinsi Papua Yan Piet Rawar mengimbau seluruh lapisan masyarakat, terutama para wajib KTP, segera melakukan perekaman data untuk proses memiliki KTP elektronik secara gratis.

Upaya "jemput bola" dalam perekaman data bagi pembuatan KTP elektronik dibutuhkan anggaran yang banyak. Kepala Bidang Pengelolaan Informasi Kependudukan Disdukcapil Kabupaten Merauke Agus Pandiyono menyebut biaya yang dibutuhkan untuk menjangkau 179 kampung mencapai Rp1,3 miliar hingga Rp1,4 miliar.

Biaya sebesar itu karena akses transportasi yang sulit dan jauh untuk menjangkau seluruh wilayah, apalagi fasilitas penunjang juga minim. Petugas harus menyewa "speedboad" atau kapal cepat, mobil, bahkan bertugas bisa sampai dua minggu di lapangan.

Tentu saja kita mendukung seruan pemerintah agar setiap penduduk yang telah wajib memiliki KTP untuk segera melakukan perekaman data ke kantor kecamatan di tempat tinggalnya masing-masing.

Namun, tampaknya tidak cukup dengan seruan tersebut. Pemerintah perlu melakukan berbagai upaya untuk memastikan proses perekaman data tersebut dapat dilaksanakan. perlu mengapresiasi upaya Mendagri yang menginstruksikan jajarannya di daerah untuk melakukan jemput bola.



Sosialisasi hingga Razia

Petugas administrasi kependudukan di berbagai daerah gencar melakukan sosialisasi, jemput bola, bahkan melakukan razia yang menyasar penduduk yang telah memenuhi syarat tetapi belum memiliki KTP elektronik, untuk segera dibuatkan KTP elektronik secara gratis.

Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Karimun, Provinsi Kepulauan Riau, misalnya, telah menginstruksikan aparatur pemerintahan di tingkat kecamatan hingga kelurahan dan desa bekerja maksimal dalam menjaring warga daerah pulau dan terpencil yang belum memiliki KTP elektronik.

Kondisi yang hampir sama terjadi di berbagai daerah adalah soal keterbatasan sarana dan prasarana seperti keterbatasan jumlah tinta untuk pencetakan e-KTP, atau alat perekam mata (biometrik) dalam keadaan rusak, sedangkan penduduk yang mengantre untuk proses pembuatan KTP banyak.

Di Kabupaten Karimun, misalnya, penduduk yang masuk dalam daftar antre tiap hari mencapai ribuan orang, sehingga petugas sempat harus meminjam tinta dari Kabupaten Bintan, dan itupun belum mencukupi. Dinas setempat memprioritaskan pembuatan KTP elektronik bagi penduduk yang membutuhkan untuk keperluan mendesak dan penting seperti untuk pembuatan paspor.

Bagi pemohon yang belum dapat merekam data untuk KTP elektronik, sementara diberikan secarik kertas yang isinya surat keterangan kependudukan sementara, sebagai pengganti KTP.

Surat keterangan itu memiliki legalitas sebagai pengganti KTP elektronik karena situasi masih terbatas. Kop suratnya bergambar burung garuda yang merupakan simbol dokumen negara yang bersifat penting.

Menarik upaya yang dilakukan Gubernur Papua Lukas Enembe dengan menginstruksikan penertiban para pendatang dari provinsi lain yang masuk ke Papua tanpa dukungan identitas kependudukan.

Acuan gubernur yakni Peraturan Daerah Provinsi Tentang Pengendalian Penduduk serta Peraturan Gubernur tentang Pengendalian Penduduk, yang mengharuskan setiap penduduk yang masuk maupun keluar harus didata secara efektif.

Oleh karena itu, jika ingin program percepatan KTP elektronik tepat sasaran maka razia KTP harus makin gencar agar dapat diketahui penduduk mana yang menjadi target perekaman data KTP elektronik, mana yang dianggap pendatang gelap dari provinsi lain.

Razia KTP secara masif merupakan kegiatan besar yang membutuhkan anggaran, dan seringkali persoalan anggaran menjadi batu sandungan dalam meraih kesuksesan pada penataan administrasi kependudukan.

Kita berharap tidak ada lagi penduduk yang telah wajib memiliki KTP, tetapi belum mempunyai KTP, atau bahkan melakukan perekaman data dalam proses pembuatan KTP.

Oleh Budi Setiawanto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016