... dua kasus ini, Archandra dan Gloria, tidak ada kaitannya dengan masalah dwi kewarganegaraan. Oleh karenya tidak seharusnya dua kasus tersebut menjadi pemicu wacana soal dwikewarganegaraan...
Depok, Jawa Barat (ANTARA News) - Guru besar hukum internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, mengatakan, penerapan asas dwi kewarganegaraan harus dipikirkan secara baik dan matang oleh pemerintah. Penyebabnya, hal ini rentan disalahgunakan.

Ia mengatakan UU Kewarganegaraan pada 2006 telah mengakomodasi asas dwi kewarganegaraan yang terbatas, namun untuk menerapkan secara utuh belum saatnya bagi Indonesia.

Dwikewarganegaraan rentan disalahgunakan untuk melakukan kejahatan.  Dwi kewarganegaraan yang utuh memungkinkan orang asing yang tidak mempunyai kaitan dengan Indonesia dapat memiliki kewarganegaraan Indonesia. 

"Bahkan dwikewarganegaraan juga kerap dimanfaatkan untuk menghindari pajak dari negara yang memasang tarif lebih tinggi," kata dia.

Kasus mantan menteri ESDM, Arcandra Tahar, dan calon anggota Paskibraka, Gloria Natapradja Hamel , adalah sebagian kecil dari masalah dwi kewarganegaraan. 

 Tahar, sejak sebelum dihubungi Presiden Jokowi untuk menjadi menteri ESDM sudah menjadi warga negara Amerika Serikat. 

Namun setelah kasusnya mencuat di media sosial, posisi dia dicopot. UU Kementerian Negara tegas menyatakan bahwa menteri adalah orang Indonesia dan berkewarganegaraan Indonesia. Sepanjang sejarah Indonesia berdiri, baru sekali ini terjadi seorang asing diangkat presiden menjadi menteri dalam kabinet pemerintahan. 

Implikasinya kemudian, di mata hukum Indonesia, Tahar bukanlah warga negara Indonesia sejak mengangkat sumpah setia pada negara lain selain Indonesia. Itu terjadi sejak 2012. 

Juga di mata hukum Amerika Serikat, Tahar bukan lagi menjadi warganegara Amerika Serikat; karena warga negara itu (Amerika Serikat) kehilangan kewarganegaraannya saat dia mengangkat sumpah sebagai pejabat publik negara selain Amerika Serikat. 

Akibatnya, Tahar sempat berstatus tidak memiliki kewarganegaraan (stateless) karena dia secara hukum kehilangan dua kewarganegaraan Indonesia dan Amerika Serikat. Sejak kasus Tahar --kelahiran Padang, pada Oktober 1970-- ini mencuat, dia banyak didukung di tanah kelahirannya. 

Lain lagi kasus kewarganegaraan pada kasus Gloria Hamel, seorang gadis remaja asal Depok, Jawa Barat, yang memiliki ayah berkewarganegaraan Perancis. Gadis belasan tahun ini gagal menjadi anggota Paskibraka di Istana Merdeka karena secara dokumen hukum dia memegang paspor Perancis dan surat tinggal tetap di Indonesia.

Gloris Hamel masih di bawah umur dan dia tidak paham benar "duduk perkara" dwikewarganegaraan yang dia boleh sandang mengingat dia adalah anak hasil perkawinan antar kebangsaan. 

Indonesia membolehkan anak hasil perkawinan antar kebangsaan (campur) ini mendapatkan kewarganegaraan ayah dan ibunya hingga usia 18 tahun. Apakah ayah atau ibunya yang berkewarganegaraan Indonesia. 

"Dari dua kasus ini, Archandra dan Gloria, tidak ada kaitannya dengan masalah dwi kewarganegaraan. Oleh karena itu tidak seharusnya dua kasus tersebut menjadi pemicu wacana soal dwikewarganegaraan," kata Juwana. 

Penerapan dwikewarganegaraan memerlukan kajian hukum dalam bentuk naskah akademik dengan mengkaji secara komprehensif berbagai aspek tidak hanya ekonomi, tetapi juga pertahanan, keamanan, sosiologi, budaya serta kesiapan dari penyelenggara negara.

Plh Direktur Tata Negara, Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM, Agus Riyanto, pada seminar yang sama, menyatakan, pada dasarnya UU Kewarganegaraan dapat diubah kapan saja sesuai perkembangan kebutuhan hukum masyarakat

Dia katakan selama ini Jaringan Diaspora Indonesia mengajukan keinginan dwikewarganegaraan Indonesia. 

Dia katakan, penerapan hal ini hendaknya dilakukan secara bertahap yaitu memberikan kemudahan terlebih dahulu kepada diaspora Indonesia di luar negeri di bidang investasi, keimigrasian, ilmu pengetahuan atau teknologi.

Pewarta: Feru Lantara
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2016