Jakarta (ANTARA News) - Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) menghasilkan tiga rekomendasi penting untuk PT Garuda Indonesia (Garuda) saat menyampaikan hasil "preliminary report" kecelakaan GA 200 di Bandara Adi Sucipto, Yogyakarta. Tiga rekomendasi itu, sebagaimana disampaikan Ketua KNKT Tatang Kurniadi kepada pers di Jakarta, Rabu, yakni, pertama, mewajibkan operator (Garuda) untuk mereview dan memeriksa perawatan terhadap Flight Data Recorder (FDR). Pemeriksaan yang dimaksud, termasuk agar dilakukan cek secara fungsi manualnya secara periodik untuk meyakinkan bahwa unit tersebut bekerja dan merekam data penerbangan dengan benar, sesuai ketentuan regulasi keselamatan penerbangan sipil (CASR) 121.343. Kedua, mewajibkan operator pesawat udara untuk menerapkan program (Approach & Landing Accident Reduction/ALAR) dan FOQA (Flight Operation Quality Assurance) dan ketiga, perlu dilakukan `assessment` kepada para orang-orang kunci (key personel) Garuda dan Bandara oleh tim independen untuk menentukan kelayakan mereka. Selain tiga rekomendasi tersebut, dua lainnya terkait dengan bandara, yakni pertama, mewajibkan setiap bandara dengan nomor kode runway 3 dan 4 memiliki RESA (runway safety area) yang sesuai dengan aturan standar Konvensi ICAO (International Civil Aviation Organization) Annex 14 paragraf 9.1.1.14, 9.2.2 dan KM 47. Terkait dengan rekomendasi pertama kepada operator tersebut, Tatang menyebutkan, saat FDR dalam proses pembacaan di Australia, beberapa data seperti Glide slope dan engine data (EFIS dan EIS data) hingga Jumat (9/3) belum dapat dibaca karena FDR yang terpasang di pesawat GA 200 dengan register PK-GZC tersebut untuk pesawat non EFIS. "Sedangkan pesawat tersebut menggunakan EFIS. Ketidaksesuaian ini menyebabkan `mismatch`, sehingga DFDAU (Gigital Flight Data Aquesition Unit) menjadi `lockup` dan data tersebut tidak terekam dalam FDR," kata Tatang. Menanggapi hal ini, Direktur Operasi Garuda, Ari Sapari didampingi Kepala Komunikasi Perusahaan, Pujobroto, membantah persoalan "mismatch" tersebut yang diakibatkan oleh FDR yang tidak semestinya. "Itu hanya persoalan pabrikan pemasok FDR dan terbukti ini tidak masalah karena sebelum dipakai Garuda, pesawat tersebut juga dipakai oleh negara lain dan ternyata, teknisi Garuda bisa mengeceknya," katanya. Sementara terkait, dengan ALAR atau rekomendasi kedua, Ari juga menandaskan bahwa hal itu baru rekomendasi ICAO untuk dijalankan dan Garuda sudah memulainya sejak 2006.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007