Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi II DPR, Ryaas Rasyid, yang merupakan mantan Rektor Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) Jakarta siap melaksanakan tugas sebagai Ketua Tim Pelaksana Evaluasi Penyelenggaraan Pendidikan Institut Pemerintahan Dalam Negeri ( IPDN) Jatinangor, Sumedang, dan menyatakan optimis mampu menyelesaikan tugas tepat waktu. "Dua bulan waktu bagi saya lebih dari cukup. Kalau saya sendiri, cukup dua minggu, tetapi karena ini tim, dua bulan sudah cukup," katanya dalam 'Dialektika Demokrasi', di Press Room DPR/MPR, Jakarta, Jumat. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menunjuk Ryaas sebagai ketua tim evaluasi IPDN, terutama setelah tewasnya siswa atau praja IPDN, Cliff Muntu akibat pengeroyokan sejumlah praja senior di lembaga pendidikan tersebut. Hadir dalam dialektika bertajuk "Solusi Atas Kasus IPDN" ini beberapa anggota Dewan seperti Ketua Komisi II DPR EE Mangindaan, Wakil Ketua Priyo Budi Santoso dan Sayutri Asyatri, serta Ida Fauziah . Ryaas mengemukakan apa yang akan dilakukan tim ini adalah melakukan evaluasi yang mendasar agar terjadi perubahan kultur di IPDN. Tugas ini memang cukup berat karena akan menghadapi kesulitan, yaitu menghilangkan budaya yang sangat tertutup di IPDN. "Kesulitan tim ini adalah adanya benturan dengan budaya ketertutupan di seluruh jajaran IPDN," katanya. Bahkan ketertutupan juga sangat dijaga oleh alumni IPDN yang ada di pemerintahan saat ini. Mereka tidak percaya dan berusaha mengelak ketika ditanya mengenai adanya kekerasan di IPDN. "Alumni IPDN juga menutup diri mengenai budaya kekerasan di IPDN, walaupun fakta-fakta sudah sedemikian telanjang di media massa," katanya. Alumni IPDN berusaha menghindar dari fakta yang telah terungkap di media massa dan mengelak dengan menyatakan kasus kekerasan itu merupakan tindakan pribadi. "Alumni IPDN itu umumnya menutup-nutupi tindak kekerasan di IPDN. Fakta-fakta di media massa itu tidak membuka mata mereka untuk berterus terang. Mudah-mudahan saya bisa mengungkap semua," katanya. Kuatnya budaya yang sangat tertutup itu, kata Ryas, menunjukkan kuatnya proses "cuci otak" sekaligus menunjukkan bahwa proses "cuci otak" di IPDN itu berhasil. Padahal kekerasan itu dikhawatirkan akan muncul kembali ketika telah menjabat posisi tertentu di birokrasi. "Kekerasan di sekolah itu bisa menjadi benih untuk muncul kembali dalam 5-10 tahun mendatang, ketika sudah menempati jabatan tertentu," katanya. Sementara itu, Ketua Keta Komisi II DPR, EE Mangindaan, mendesak semua pihak di IPDN terbuka untuk menyampaikan berbagai hal menyangkut kekerasan di IPDN, karena tim evaluasi diarahkan untuk melakukan perbaikan sistem dan budaya di lembaga pendidikan ini. "Tim ini tidak melihat satu kasus, tetapi lebih komprehensif," katanya. Dia mengajak pers dan masyarakat agar lebih jernih dan mampu menahan diri dalam menyikapi kasus-kasus kekerasan di IPDN. "Jangan emosional, kalau emosional bisa tidak rasional," katanya. Presiden Yudhoyono menerima Tim Pelaksana Evaluasi Penyelenggaraan Pendidikan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Jumat siang pukul 14.00 WIB. Presiden didampingi oleh Mendagri ad interim Widodo AS, Mendiknas Bambang Soedibyo, Menneg PAN Taufiq Effendi, Seskab Sudi Silalahi dan Kapolri Jenderal Sutanto. Kepala Negara telah menerima laporan dari para pejabat tentang tewasnya siswa atau praja Cliff Muntu. Untuk menghilangkan jejak tindak kekerasan tersebut, maka ke dalam tubuh Cliff yang berasal dari Sulawesi Utara disuntikkan formalin. (*)

Pewarta:
Copyright © ANTARA 2007