Jakarta (ANTARA News) - Salah satu acaranya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, disertai tim ekonominya, ke Jepang pada 26 November 2006 selama beberapa hari adalah merinci FTA (Free Trade Agreement) dalam kerangka EPA (Economic Partnership Agreement) Jepang dengan Indonesia. Karya Tim Ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) yang menyertainya dalam merumuskan rincian EPA bersama pihak Jepang diharapkan bukan dokumen yang indah rumusannya, tapi usaha nyata dalam makin memberi substansi pada EPA yang didalamnya dirumuskan beberapa pokok realisasi FTA dengan berbagai harmonisasi tarif untuk perdagangan internasional antar kedua negara mulai 2007. Mengapa baru sekarang? Sepertinya kurang kemantapan dalam serangkaian langkah implementasi di pihak departemen terkait dan pelaku bisnis untuk mengejar ketertinggalan kita dibandingkan Singapura, Thailand, dan Malaysia? Dengan menelaah kebelakang, Kesepakatan Kemitraan Ekonomi (EPA) sudah lebih dari empat tahun lalu diusulkan Jepang untuk ditelaah oleh pihak kita. Dalam dokumen Kementerian Ekonomi, Perdagangan dan Industri Jepang (METI) pada Desember 2002 dijelaskan juga gagasan Kawasan Perdagangan Bebas (FTA) dengan Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) seiring dengan upaya mewujudkan jaringan kerja FTA satu per satu dengan negara anggotanya dalam kerangka EPA. Penulis atas undangan khusus menghadiri diskusi dengan Prof. Yoshino Fumio, dari Institute of World Affairs, Takushoku University dalam "FTA in East Asia: A Japanese Perspective" pada 30 Juni 2003 di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jakarta. Diuraikanlah gagasan Jepang bahwa EPA yang didalamnya FTA dengan ASEAN dan juga FTA dengan masing masing negara anggota ASEAN. Sangat disayangkan, kemudian pihak pembuat kebijakan ekonomi dan pelaku bisnis di negeri ini yang banyak berinteraksi dengan Jepang tidak terlalu responsif. Dalam pembicaraan informal, Prof Yoshino Fumio dengan penulis mengungkapkan bahwa uraian serupa pernah telah disampaikan pada tim ekonomi dan stafnya Kabinet Gotong Royong-nya Presiden Megawati Soekarnoputri. Teoritis urutan yang terjadi dalam proses integrasi ekonomi regional itu terdiri dari empat tahapan: 1. Free Trade Agreement atau Area; 2. Customs Union; 3. Common Market; 4. Economic and Political Union (contohnya Uni Eropa/UE). Jadi, gagasannya dimulai dengan tahap pertama, yakni FTA dalam rangka EPA. Pihak pembuat kebijakan Jepang dan kalangan akademisinya memahami bahwa suatu FTA merupakan suatu kesepakatan bersama untuk menghapus hambatan perdagangan antar mereka. Negara manapun yang masuk dalam kawasan perdagangan dapat dan memelihara kebijakan perdagangan secara independen terhadap negara ketiga. Suatu sistem sertifikasi orisinal (system of certificates of origin) diberlakukan untuk menghindari terjadinya peralihan perdagangan (trade diversion) demi perolehan maslahat tarif yang rendah dari negara anggota. Dampak ekonomi dari FTA dapat dibagi dalam dampak statis dan dampak dinamis. Dalam dampak statis tercakup dampak penurunan tarif standar atas efisiensi alokasi sumber daya, dan dampak dinamis, di mana produktivitas yang lebih tinggi dan akumulasi modal berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Belakangan ini argumentasi politik ekonomi yang mencakup perilaku kepentingan kepentingan kelompk ikut berperan dalam pembentukan FTA. Tujuan FTA adalah membentuk kelancaran perdagangan dan investasi, dengan mencapai persetujuan dengan mitra dagang dan investasi secara cepat dan mantap, karena sejumlah alasan yang tidak terbatas pada kedekatan secara geografis. Hal yang hendak digarap adalah kesertaan dalam pasar domestik oleh dana dana luar (foreign funds) para manajer dan teknisi, yang pada gilirannya menstimulasi perekonomian domestik kedua belah pihak. Hal yang dimaksud dengan dampak statis adalah penciptaan perdagangan dan mengurangi pembelokan (diversion). Eliminasi hambatan perdagangan antara pihak pihak yang mengadakan persetujuan FTA merubah harga barang barang dan jasa yang diperdagangkan, yang pada gilirannya berpengaruh pada volume perdagngan dan kesejahteraan ekonomi kedua negara Dalam kasus peniadaan (removal) hambatan perdagngan berarti perluasan perdagangan yang biasanya dilakukan antara pihak pihak yang bersangkutan, menggerakkan konsumen dalam negara yang mengimpor barang dan jasa secara lebih murah, dan di pihak produsen negara pengekspor mempeorleh laba sebagai hasil ekspor yang lebih besar, dan secara teoretik kedua kemakmuran kedua negara FTA mekin membaik (improving the economic welfare). Sebaliknya, kita juga hendaknya tidak lupa bahwa peniadaan hambatan sebagai akibat FTA tidak serta merta membawa maslahat bagi Indonesia. Selain itu, dampak FTA juga pada pertumbuhan ekonomi kedua belah pihak melalui tahapan peningkatan produktivitas dan akumulasi modal, keduanya merupakan dampak yang dinamis. Hal yang dimaksud dengan peningkatan produktivitas mencakup antara lain perluasan pasar, peningkatan daya saing, adanya alih teknologi dan dampak inovasi teknologi. Bagi Jepang EPA dengan negara negara dan kawasan kawasan yang memiliki hubungan dekat dalam kerjasama ekonomi dengan alasan makin terbukanya ekonomi (borderless economy). Pendekatan yang dianut adalah :pendekatan berlapis lapis (multi-layered approach): dalam rangka kebijakan Organisasi Perdagangan Bebas Dunia (WTO), Kerjasama Regional dan Bilateral. Kebijakan eksternal internasionalisasi Jepang berintikan pada landasan suatu system perdagangan bebas dan kemantapan aturan perdagangan multilateral melalui perundingan perundingan dan memperkuat ikatan dengan negara negara dan kawasan kawasan yang menjadi pilihannya dan selain itu kerjasama bilateral. Jepang bergerak meninggalkan pemecahan kasus kasus friksi perdagangan demi meningkatkan serangkaian ikatan yang lebih luas (broad-ranging ties), seperti Jepang-Singapura, Jepang-Meksiko, dan Jepang-Korea Selatan. Untuk lebih mengaktualisasi EPA itu, dalam sikap pandang METI, Jepang strateginya adalah memberi manfaat pada perekonomiannya secara keseluruhan, yakni menghasilkan manfaat ekonomi yang signifikan, menghindari kondisi yang merugikan (disadvantageous) dan menggerakkan reformasi structural. Dalam kaitannya dengan kebijakan luar negeri Jepang kepentingan Jepang adalah dalam sikap pandang geopolitik dan memperkuat posisi tawar dalam negosiasi. Tentunya dengan menghargai sikap pandang "counterpart", agar tidak terjadi asimetri. Tiga tahunan lalu ketika pihak Jepang dengan gencar mempromosikan gagasan EPA terungkap salah satu sasaran utama adalah dalam kaitannya dengan Asia Timur. Premis yang disadari dan pahami adalah bahwa Asia Timur makin cepat memperoleh/menikmati keberadaan ekonomi dan makin mendalamnya interdependensi ekonomi. Secara lebih eksplisit fokus nya adalah pada pemanfaatan elemen elemen pertumbuhan Asia Timur untuk lebih nyata revitalisasi ekonomi Jepang serta menyadari potensi pembangunan ekonomi Asia Timur dalam waktu mendatang. Dalam menyerap gagasan EPA yang didalamnya FTA, banyak kali pihak birokrasi kita justru di tingkat manajemen menengah belum memperlihatkan konsistensi dalam mau beretika mewujudkann pelayanan dasar sebagai layaknya "good governance". Bayangkan saja, Singapura tahun 2002 sudah menandatangani JSEPA (Japan Singapore Economic Partnership Agreement) yang komprehensif, demikian pula Thailand dan Malaysia kemudian tahun 2003, tapi mengapa Indonesia baru akhir tahun 2006? Apa karena kelambanan pihak kita, dan belum benar-benar mantap/profesional? Ke mada mendatang, karena kebanyakan pelaku bisnis Indonesia dalam interaksi dengan Jepang belum cukup profesional sebagai disyaratkan dalam bisnis internasional untuk memperoleh maslahat (benefit) yang seimbang, maka hendaknya menyadari bahwa proses untuk menumbuhkan kredibilitas dan kompetensi professional tidak hanya di hanya di pulau Jawa tapi justru di daerah luar Jawa yang harus senantiasa dipupuk, agar memiliki kemampuan yang makin meningkat dalam pemahaman dasar FTA dalam rangka EPA. Kini saatnya bagi para generasi muda kita yang menjadi kelompok manajemen menengah dan kelak menjadi suksesor perusahaan perusahaan untuk mulai menimba pengetahuan dan pengalaman terutama dari "utara" (look north) dan tidak hanya dari Barat. Proses itu tentunya termasuk, investasi dan waktu dalam pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) dalam belajar dan menimba pengetahuan konsep dan praktek , "soft skills" dan "hard skills" sesuai kapasitas SDM yang akan mulai dikirim ke Jepang. (*) *) Bob Widyahrtono MA (bobwidya@cbn.net.id) adalah pengamat ekonomi dan studi pembangunan, terutama untuk masalah Asia Timur; Dosen Senior di Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanegara (FE Untar) Jakarta.

Oleh Bob Widyahartono MA *)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007