JPU seperti 'tidak ada rotan akar pun jadi'
Jakarta (ANTARA News) - Kuasa Hukum Jessica Kumala Wongso, Otto Hasibuan, mempertanyakan teori fisiognomi yang digunakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebagai dasar untuk enuntut Jessica dalam perkara kematian Wayan Mirna Salihin, padahal ilmu ini disebutnya secara implisit sudah ketinggalan zaman karena peninggalan abad keenam sebelum Masehi.

Fisiognomi adalah ilmu firasat wajah atau ilmu membaca karakter seseorang lewat wajah. JPU menilai Jessica pembunuh salah satunya berdasarkan dari karakter wajah.

"Teori fisiognomi ini adalah ilmu yang digunakan pada abad ke 6 Sebelum Masehi. Dapat dibayangkan kalau JPU menggunakan dasar dan alat menjerat Jessica, JPU seperti 'tidak ada rotan akar pun jadi' menggunakan teori ini dengan embel-ember teori fisiognomi modern," kata Otto dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu.

Dalam penyampaian nota pembelaannya, Otto menjelaskan teori yang digunakan sejak Abad ke 6 SM, jika ada kasus pembunuhan, ahli fisionomi didatangkan untuk mengetahui seseorang terbukti atau tidak melalukan pembunuhan dari karakter wajah.

Menurut dia, penggunaan kembali teori ini adalah kemunduran mengingat ilmu ini setara dengan ilmu ramalan yang tidak mempertimbangkan bukti-bukti pendukung.

"Kami mohon agar teori (fisiognomi) ini tidak lagi digunakan dalam persidangan berikutnya," ujar Otto.

Kritik teori fisiognami ini tidak luput dibacakan oleh tim kuasa hukum Jessica dalam nota pembelaan setebal 4.000 halaman.

Sidang ke 28 yang digelar sejak pukul 13.11 WIB ini beragendakan penyampaian nota pembelaan Jessica.

Dalam sidang ke-27 pekan lalu, jaksa menuntut hukuman 20 tahun penjara untuk Jessica Kumala Wongso dalam kasus kematian Wayan Mirna Salihin.

Mirna meninggal dunia di Rumah Sakit Abdi Waluyo Jakarta setelah meminum es kopi Vietnam pesanan Jessica di Kafe Olivier pada 6 Januari 2016.

Pewarta: Mentari Dwi Gayati
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2016