Jakarta (ANTARA News) - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa permohonan uji materiil terhadap UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang diajukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tidak dapat diterima. Dalam putusan yang dibacakan secara bergantian oleh sembilan majelis hakim konstitusi di Gedung MK, Jakarta, Selasa, KPI dinyatakan tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan uji materiil UU Penyiaran. Menurut MK, berlakunya UU Penyiaran tidak menimbulkan kerugian hak atau kewenangan konstitusional KPI, karena KPI adalah lembaga negara yang merupakan produk dari UU Penyiaran yang melahirkannya dan tidak akan pernah dirugikan oleh UU Penyiaran itu. "Dengan kelahiran eksistensi dan kewenangan-kewenangannya, KPI semata-mata merupakan pihak yang diuntungkan, terlepas dari kemungkinan adanya penilaian sementara bahwa rumusan kebijakan dalam UU Penyiaran itu kabur atau terdapat pertentangan dalam dirinya sendiri," kata hakim konstitusi, Harjono, saat membacakan putusan. Menurut MK, "legal standing" untuk mempersoalkan undang-undang yang melahirkan lembaga tertentu tidak berada pada lembaga yang lahir dari undang-undang yang diuji. Satu badan, atau lembaga yang lahir dan dibentuk dengan satu UU, menurut MK, akan menerima eksistensi dan segala wewenang, tugas, dan kewajibannya, dengan segala kelemahan atau kekurangan dan keuntungan dan kerugiannya, sebagai hal yang melekat dalam dirinya sendiri. MK juga berpendapat, delapan anggota KPI yang mengajukan permohonan dan mengkualifikasikan diri mereka sebagai lembaga negara tidak tepat untuk mendasarkan permohonannya pada pasal 28D ayat 1 UUD 1945. Pasal 28D ayat 1 UUD 1945 menyebutkan, setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Menurut MK, pengertian pasal itu telah jelas bahwa yang menjadi subjek adalah orang dalam pengertian orang pribadi. "Seandainya hak asasi demikian dapat ditafsirkan berlaku untuk badan hukum, hal itu juga tidak berlaku bagi pemohon. Bukan saja karena pemohon mendalilkan dirinya sebagai lembaga negara, tetapi juga karena tidak semua hak konstitusional yang dimiliki oleh orang pribadi serta merta berlaku pula bagi badan hukum," kata Harjono. KPI mengajukan uji materiil terhadap pasal 62 ayat 1 dan ayat 2 serta pasal 33 ayat 5 UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran terhadap pasal 28D ayat 1 UUD 1945. Dalam permohonan uji materiil, KPI menyatakan telah dirugikan hak konstitusionalnya, karena adanya inkonsistensi antara pasal-pasal dalam UU Penyiaran. KPI, menurut pemohon, dinyatakan sebagai lembaga negara independen. Namun, pasal 62 ayat 1 dan ayat 2 UU Penyiaran mengatur bahwa peraturan tentang penyiaran dibuat dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP). Menurut KPI, suatu lembaga negara tidak independen apabila pengaturan kewenangannya diatur oleh PP dan hal itu akan membuka peluang intervensi pemerintah terhadap indepedensi KPI. Selain mengajukan uji materiil UU Penyiaran, KPI juga mengajukan perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) yang mempermasalahkan kewenangan pemberian izin penyelenggaran penyiaran dan pembuatan aturan dalam hal penyiaraan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo). Dalam permohonan SKLN, KPI merasa kewenangan konstitusionalnya diambil, dihalangi, diabaikan, dan dirugikan oleh Presiden melalui Menkominfo. Namun, MK juga menolak permohonan SKLN yang diajukan oleh KPI, karena KPI bukanlah lembaga negara yang kewenangannya diatur melalui UUD, yang sengketanya dengan lembaga negara lain dapat diadili oleh MK. Anggota KPI, Sasa Djuarsa Sendjaja, mengatakan meski merasa kecewa, ia menghormati putusan MK tersebut. KPI, lanjutnya, akan melanjutkan perjuangan untuk memperoleh indepedensinya melalui uji materiil tujuh PP Penyiaran yang telah dikeluarkan pemerintah. KPI telah mengajukan uji materiil PP tersebut ke Mahkamah Agung (MA). "Kami akan meminta MA untuk segera memutus uji materiil tujuh PP Penyiaran itu," demikian Sasa. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007