Jakarta (ANTARA News) - Pasal enam konvensi internasional tentang hak-hak sipil dan politik masih memberi peluang bagi setiap negara untuk mempertahankan hukuman mati dalam aturan hukumnya, kata Philip Alston dari New York University School of Law. Ia mengemukakan hal itu selaku saksi ahli yang dihadirkan oleh pemohon uji materiil ancaman hukuman mati dalam UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika saat memberi keterangan melalui fasilitas telewicara (video conference) di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu. Alston mengatakan, konvenan tersebut mengakui bahwa penghapusan hukuman mati di suatu negara membutuhkan waktu, sehingga pasal 6 konvenan memberi peluang bagi suatu negara untuk tetap mempertahankan hukuman mati untuk sementara waktu. Dalam keterangannya, Alston mengatakan, kategori kejahatan serius yang dirumuskan oleh komunitas internasional adalah jenis kejahatan yang mengakibatkan kematian. Namun, Alston tidak menggolongkan perdagangan narkotika sebagai kejahatan serius, karena perbuatan kriminal itu tidak menyebabkan kematian secara langsung. Ia mengakui, perdagangan narkotika menimbulkan kematian secara signifikan dan membawa pengaruh buruk dalam kehidupan masyarakat. Namun, Alston berpendirian, pelaku pengedaran narkotika secara ilegal tidak dapat diminta pertanggungjawaban atas kematian orang lain, karena pemakai narkotika mengkonsumsi obat-obatan terlarang itu atas kemauan mereka sendiri. Atas keterangan Alston itu, pihak pemerintah yang diwakili Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, tidak memberikan tanggapan atau pertanyaan kepada saksi ahli dari pemohon itu. Jaksa Agung mengatakan, keterangan Alston justru memperkuat argumen pemerintah untuk tetap menerapkan hukuman mati dalam UU Narkotika. "Kami tidak mengajukan pertanyaan, karena menurut hemat kami, ahli telah memperkuat dan mengakui sendiri bahwa ada hak dari negara-negara untuk tetap menerapkan hukuman mati," tutur Abdul Rahman. Sedangkan, Wakil Badan Narkotika Nasional (BNN), Kombes Pol Arief Sumartono, juga menolak menanggapi keterangan Alston. "Yang paling tahu soal Indonesia adalah orang Indonesia sendiri," ujarnya. Selain mendengarkan keterangan Alston melalui telewicara, sidang juga menghadirkan dua saksi ahli dari pemohon, yaitu pakar hukum JE Sahetapy dan Direktur Imparsial, Rachland Nashidik. Sedangkan, pemerintah menghadirkan anggota Komnas HAM, Ahmad Ali, pakar hukum Rudi Satrip, KRH Henry Yosodiningrat, dan Brigjend Pol Jeane Mandagi dari BNN sebagai saksi ahli. Uji materiil pasal 80, 81, 82 dalam UU No 22 Tahun 1997 yang mengatur hukuman mati bagi terdakwa kasus narkotika dimohonkan oleh empat pemohon, yaitu tiga terpidana mati kasus "Bali Nine" warga negara Australia, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, dan Scott Anthony Rush. Sedangkan, dua pemohon lain adalah Warga Negara Indonesia (WNI), yaitu Edith Yunita Sianturi yang terlibat kasus kepemilikan narkotika seberat 1.000 gram dan Rani Andriani yang terlibat kasus kepemilikan narkoba seberat 3.500 gram. Para pemohon diwakili oleh kuasa hukum mereka, yaitu Todung Mulya Lubis, Denny Kailimang, dan Henry Ponto. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007