Jakarta (ANTARA News) - Meski Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) hanya menyebut terpidana atau keluarganya yang dapat mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK), Kejaksaan Agung (Kejagung) tetap optimistis untuk mengajukan PK terhadap putusan Mahkamah Agung (MA) dalam kasasi Pollycarpus Budihari Priyanto. "Optimisme kami berbunga-bunga," kata Jaksa Agung, Abdul Rahman Saleh, usai mengikuti sidang uji materiil UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu. Pasal 263 ayat 1 KUHAP mengatur hanya terpidana atau ahli waris terpidana yang bisa mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada MA terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Namun, Abdul Rahman menyebutkan, telah ada preseden sebelumnya bahwa MA pernah mengabulkan permohonan PK yang diajukan oleh jaksa dalam kasus Muchtar Pakpahan. Pada 1996, MA mengeluarkan putusan kontroversial, yang baru pertama kali terjadi di dunia hukum Indonesia, dengan mengabulkan permohonan PK dari jaksa penuntut umum. Dalam kasus kisruh buruh di Medan pada 1994, di pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding, Mochtar dihukum empat tahun penjara. Namun, di tingkat kasasi Mochtar dibebaskan. Atas putusan kasasi itu, jaksa Havid Abdul Latip dari Kejaksaan Negeri Medan kemudian mengajukan PK yang diterima dan dikabulkan oleh MA pada 1996 oleh majelis hakim agung Soerjono, Palti Raja Siregar, dan Sarwata. Kejagung, menurut Abdul Rahman baru menerima sebagian bukti baru (novum) dari Mabes Polri pada 13 April 2007, yang akan digunakan untuk mengajukan PK. Novum yang diserahkan itu di antaranya adalah kesaksian seseorang yang melihat Munir bersama dengan Pollycarpus di Bandara Changi, hasil forensik dari Seattle, Amerika Serikat, yang diyakini lebih detil dari forensik yang dihasilkan oleh tim di Belanda, serta gambar denah pesawat Garuda buatan Pollycarpus yang diduga sebagai bagian dari rencana pembunuhan. Jurubicara MA, Djoko Sarwoko, mengatakan pada dasarnya PK memang bukan hak dari jaksa. Meski MA pernah mengabulkan PK dari jaksa pada perkara Muchtar Pakpahan, Djoko mengatakan, hal itu tidak bisa dijadikan yurisprudensi oleh hakim agung. Namun, Djoko menambahkan, tetap terbuka kemungkinan bagi penuntut umum untuk mengajukan permohonan PK tersebut. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007