Jakarta (ANTARA News) - "Siapa yang salah? Yang salah masyarakat atau pemerintah?"

Pertanyaan tersebut dilontarkan Nano Riantiarno penulis naskah Opera Kecoa. Lakon tersebut pertama kali dipentaskan Teater Koma pada 1985 di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat. Kini, 31 tahun berselang, di tempat yang sama, lakon tersebut kembali dipentaskan.

Entah seorang peramal, atau barangkali bisa disebut visioner, Nano menulis karya yang terasa familiar dengan kehidupan masyarakat saat ini.

Mungkin ini juga "ramuan" Nano untuk membuat penonton betah duduk di kursi selama lebih dari 3 jam berlangsungnya pementasan.

"Sejauh menyangkut perkembangan sosial, orang akan melihat dirinya sendiri di panggung, mungkin itu yang membuat penonton betah," ujar Nano.

Menggugat penguasa
"10 persen untuk Anda," kata tamu asing. "Bisa ditransfer ke (menunjukkan secarik kertas). Selain memikirkan rakyat, kita juga harus memikirkan diri sendiri," ujar pejabat.

Orde baru telah berlalu. Reformasi datang setelah itu. Ajaibnya, banyak urusan dan persoalan yang sepertinya abadi di negeri ini. Misalnya saja soal korupsi dan pungli.

"Saya enggak tahu, banyak orang yang bilang bahwa reformasi gagal, tapi intinya seperti itu. Jadi, balik lagi pertanyaannya apa kita yang salah apa pemerintah yang salah?" kata Nano.

Nano nampaknya tak berani beranjak dari sisi panggung. Dia bertekad untuk menggugat penguasa di atas pentas.

"Dari dulu ketika saya mulai mengguggat orang bilang kamu ke jalan, enggak, saya bilang tugas saya di panggung. Di panggung itu saya akan buat macam-macam naskah yang kurang lebih seperti itu," ujar Nano.

Pada awal pementasan, Nano bercerita, Opera Kecoa tak luput dari monitor intel. Tapi mereka ternyata ikut tertawa dan menikmati sandiwara.

"Suatu hari saya main di sini (Graha Bhakti Budaya, TIM), itu satu hari penuh tentara ternyata para tentara nonton karena panglimanya nonton pada 1985, semuanya ketawa. Dan, intel itu tiap hari nonton dan mereka ketawa-ketawa," kenang Nano.

Namun, dia akhirnya turun ke jalan ketika pada 1990 lakon itu dilarang pentas di Gedung Kesenian Jakarta dan tidak diberi ijin pentas keliling di Jepang.

"Dulu katanya enggak mendidik. Ke Jepang enggak boleh, 30 orang akan ke Jepang dilarang," kata Nano.

"Setelah itu kami ke DPR, waktu itu Rendra baca puisi, saya ngomong juga," sambung dia.

Kemudian di tahun 1992, dipentaskan dengan judul Cockroach Opera oleh Belvoir Theatre di Sydney, Australia. Lakon tersebut dipentaskan lagi di Gedung Kesenian Jakarta pada 2003, 13 tahun setelah pelarangannya.

Bukan adaptasi
Nano menegaskan bahwa lakon Opera Kecoa yang kembali dipentaskan pada 10 hingga 20 November 2016 sama sekali tidak berubah dari naskah asli.

Isu relokasi, dialog "aktor yang menunggangi", hingga mental spiritual dan pembangunan yang sering disebut akhir-akhir ini, dia mengatakan, bukanlah adaptasi.

"Dari dulu seperti itu juga, gila kan? tidak berubah. Itu bagaimana? siapa yang salah? tidak diubah, itu naskah lama," ujar Nano.

Dia mengatakan bahwa keputusan pementasan Opera Kecoa tahun ini tidak ada kaitannya dengan Pilkada DKI.

"Itu (pementasan) sudah jauh-jauh hari diputuskan. Saya enggak tahu. Intinya sama membuat pertunjukan ini utuh, itu saja," kata Nano.

"Kalau memang mereka mau menghubungkan dengan Pilkada oke, silakan," lanjut dia.

Lebih lanjut, Nano juga mengatakan bahwa para pemain tidak boleh berimprovisasi.

"Enggak boleh ada improvisasi, semuanya dari latihan. Jadi, begitu dia melenceng pasti akan saya marahin, enggak bisa," ujar dia.

"Naskah bisa dikembangkan ke mana  saja terserah, enggak masalah, dia (aktor) bisa kemana-mana tapi intinya adalah dialog dalam naskah. Itu dikembangkan menurut mereka kemana sejauh pemikiran," sambung dia.

Opera Kecoa juga mengangkat kisah cinta lelaki dengan banci, jauh sebelum LGBT menjadi tema hangat dalam perbincangan masyarakat maupun netizen sebagaimana terjadi belakangan ini.

Komedi juga tragedi
Entah lakon komedi atau tragedi, kenyataannya Opera Kecoa berhasil membuat tertawa terbahak-bahak hingga berurai air mata.

Bukan air mata dari dari tawa, melainkan air mata kepedihan dari momen pedih nan menyentuh yang membuat mata dan jiwa berkaca-kaca.

Kisah cinta Romeo dan Juliet, drama klasik dan terkenal dari Shakespeare, menjelma dalam cinta murni Roima dan Julini. Bedanya, diantara Roima dan Julini terselip nama Tuminah.

Roima, seorang bandit kelas teri, tertarik kepada wanita sungguhan Tuminah, seorang Pekerja Seks Komersial, meski sudah punya pacar Julini si waria.

"Saya melihat ada sesuatu yang juga penting dalam percintaan Roima dan Julini dan Tuminah. Jenis itu kan ada di mana-mana, kalau kemudian jenis itu diusir, mereka khan juga manusia," ujar Nano.

"Sebagian besar orang menganggap bahwa mereka tidak penting. Enggak, kalau menurut saya penting," sambung dia.

Kisah cinta segitiga Opera Kecoa yang terbilang unik itu berujung pada kebakaran di perkampungan Tuminah tinggal.

"Pada jaman itu kalau ada kebakaran orang pasti akan bertanya, ini kebakar atau terbakar. Biasanya di situ langsung dibuat lapangan golf, hotel, pada saat itu," kata Nano.

"Opera Kecoa" lakon tentang orang miskin, lakon tentang bandit-bandit kelas teri, lakon tentang para psk, lakon tentang para waria, lakon tentang para kecoa.

Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2016