Washington, 11/11 (Antara/Reuters) - Kemenangan tokoh yang dikenal skeptis terhadap perubahan iklim, Donald Trump, dalam pemilihan presiden Amerika Serikat, akan membuka jalan bagi China mengambil alih kepemimpinan dunia untuk mengantisipasi dampak persoalan lingkungan tersebut, tulis Reuters.

China selama ini bekerja sama dengan pemerintahan Presiden Amerika Serikat Barack Obama terutama setelah tercapainya Perjanjian Paris 2015 mengenai perubahan iklim. Kerja sama antara kedua negara penghasil emisi gas rumah kaca terbesar dunia tersebut membuat hampir 200 negara lain turut mendukung implementasi perjanjian.

Namun presiden terpilih yang akan menggantikan Obama, Trump, menyebut bahwa pemanasan global adalah berita bohong bikinan China untuk menghambat perekonomian Amerika Serikat. Dia juga berjanji akan menarik negaranya dari perjanjian Paris serta membatalkan sejumlah kebijakan Obama terkait perubahan iklim.

Trump menunjuk tokoh yang skeptis terhadap perubahan iklim, Myron Ebell. Untuk memimpin perencanaan transisi bagi Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat, yang dalam masa Obama telah memutuskan sejumlah peraturan berkaitan dengan energi terbarukan dan efisiensi alat transportasi.

Dalam situasi tersebut, Beijing akan mengambil alih kepemimpinan dari Amerika Serikat, dalam mengatasi sejumlah persoalan lintas batas negara untuk perubahan iklim.

"Dengan secara pro-aktif mengambil langkah pencegahan perubahan iklim, citra China di mata internasional akan membaik dan akan mempunyai senjata moral tinggi," kata Zou Ji, negosiator senior dari pemerintahan China terkait perubahan iklim.

"Pengaruh China akan naik dalam hal perubahan iklim global, yang kemudian akan meyebar ke lembaga-lembaga lain sehingga pengaruh dan kepemimpinan China juga akan meningkat," kata dia.

Dalam Perjanjian Paris, negara-negara sepakat menghapus emisi gas rumah kaca selama 50 tahun mendatang dan membatasi pemanasan global sampai "jauh di bawah" dua derajat Celsius" di atas level-pre industrial.

Beberapa analis mengaku khawatir dengan terpilihnya Trump karena tanpa dukungan finansial dari Amerika Serikat, sejumlah negara-negara berkembang seperti India mungkin akan enggan menerapkan kebijakan mitigasi perubahan iklim.

China sendiri selama ini selalu menghindar saat didesak oleh negara-negara lain untuk mengurangi emisi karbon mereka. Mereka beralasan bahwa China seharusnya diberi kesempatan untuk berkembang dan mengotori lingkungan sebagaimana yang telah dilakukan oleh negara-negara industrial lama.

Namun setelah mengalami kabut asap dan melihat keresahan masyarakat terhadap kerusakan lingkungan, Beijing kemudian berubah sikap dan menjadi pendukung utama penghentian pemanasan global.

"China melakukan mitigasi perubahan iklim demi rakyat mereka sendiri," kata Erik Solheim, direktur eksekutif Program Lingkungan PBB.

"Saya yakin China akan mengambil alih kepemimpinan," kata dia.

Perubahan iklim diperkirakan akan menjadi penyebab munculnya fenomena gelombang panas, kekeringan, banjir, dan naiknya permukaan air laut pada 2100 yang akan membuat dunia mengalami kerugian trilyunan dolar.

Saat ini China tengah mengembangkan teknologi energi terbarukan seperti pembangkit listrik tenaga angin dan surya.

Beijing juga berinovasi dalam mengembangkan kota-kota rendah karbon, kata Andrew Steer, kepala lembaga World Resources Institute.

"Mereka mulai menyadari bahwa karbon adalah indikasi tidak efisiennya ekonomi," kata Steer.

(Uu.G005)



Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016