Purwokerto (ANTARA News) - Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mengatakan bom di Gereja Oikumene, Kelurahan Sengkotek, Kota Samarinda, Kalimantan Timur, sebagai kejahatan kemanusiaan karena sebagian besar korbannya anak-anak.

"Ini (bom Samarinda, red.) merupakan kejahatan kemanusiaan karena ternyata korbannya adalah anak-anak," kata Ketua Komnas PA Arist Merdeka Sirait di Purwokerto, Jawa Tengah, Senin siang.

Arist mengatakan hal itu kepada wartawan usai menjadi pembicara dalam Seminar Nasional "Anak, Perempuan, dan Perubahan Sosial" di Aula Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto.

Menurut dia, dalam beberapa kasus peledakan bom, kata dia, sangat jarang terjadi korbannya anak-anak.

Akan tetapi dalam peledakan bom di Samarinda, lanjut dia, ada empat anak yang menjadi korban dan satu orang di antaranya meninggal dunia karena mengalami luka bakar yang serius.

"Ini yang menurut saya menjadi pelajaran serius bagi bangsa ini untuk memberikan jaminan kepada anak-anak dari kejahatan dan kekerasan itu. Jadi, Komnas Perlindungan Anak melihat ini (bom Samarinda, red.) merupakan kekerasan terhadap anak yang terjadi di negeri ini," katanya.

Arist mengaku telah datang ke Samarinda untuk menemui anak-anak yang menjadi korban dan melihat secara langsung lokasi kejadian.

Menurut dia, anak-anak yang menjadi korban itu merupakan fakta dari bom yang sengaja dipasang dan diledakkan pada tempat di mana anak itu sebenarnya dalam situasi tidak mengerti apa yang sedang terjadi.

"Pada saat sedang bermain, pada saat habis bersama dengan orang tuanya berinteraksi secara spiritual dengan kebaktiannya. Anak itu tidak tahu apa yang terjadi, kemudian bom meledak," katanya.

Ia mengatakan faktanya telah terjadi pelanggaran terhadap hak anak, merampas kemerdekaan dan hak hidup anak dengan cara pemaksaan lewat ledakan bom yang sangat menyakitkan.

Dalam perspektif perlindungan anak, kata dia, peledakan bom di Samarinda merupakan kejadian yang sangat biadab dan merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang harus dikutuk dan dihentikan.

"Apapun perbedaan pandangan politik kita, cara kita mengimplementasikan apa niatan kita terhadap yang kita mau, jangan korbankan anak-anak karena anak-anak, apalagi ini balita, tidak tahu apa-apa, mereka harus meregangkan nyawa, tidak tahu apa yang terjadi, dan harus menderita sepanjang hidupnya," tegasnya.

Terkait hal itu, Arist mengatakan dari hasil investigasi yang dilakukan Komnas PA dengan menemui korban dan sejumlah tokoh, harus ada peningkatan fungsi intelijen.

Selain itu, kata dia, perlu adanya evaluasi terhadap program-program deradikalisasi kepada orang-orang yang sudah mengakui kesalahannya dan telah menjalani pemidanaan.

"Ini tampaknya tidak termonitor dengan baik. Program-program deradikalisasi harus dilakukan," katanya.

Pewarta: Sumarwoto
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2016